Aku menyaksikan jam di tanganku. Masih lama rupanya. Kira-kira separuh jam lagi masa-masa kuliah habis. Siang tadi kakak iparku nelepon, memintaku datang ke rumahnya sesudah kuliah. Aku bertanya-tanya, karena seringkali hanya abangku saja yang menelponku, menanyakan sesuatu atau memintaku untuk mengawal rumahnya andai dia terdapat urusan terbit kota.
“Den Mad, bantu Mbak Limah bawakan kain ini masuk”, pintanya seraya menyeringai mungkin menyangga sakit.
“Mbak tadi tergelincir”, sambungnya.
Aku melulu mengangguk sambil memungut kain yang berserakan kemudian sebelah tanganku coba menolong Mbak Limah berdiri.
“Sebentar Mbak. Saya bawa masuk dulu kain ini”, kataku sembari membantunya memegang kain yang sedang di tangan Mbak Limah. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kain jemuran kuletakkan di atas kasur, di kamar Mbak Limah. Ketika aku mendekat Mbak Limah lagi, dia telah separuh berdiri dan mengupayakan berjalan terhuyung-huyung. Hujan semakin lebat seakan dilimpahkan semuanya dari langit.
Aku membimbing Mbak Limah masuk ke kamarnya dan mendudukkan di kursi. Dadaku berdetak kencang saat tanganku tersentuh buah dada Mbak Limah. Terasa kenyal sehingga menciptakan darah mudaku tersirap naik. Kuakui meski dalam umur mula 30-an ini Mbak Limah tidak kalah menariknya bila dikomparasikan dengan kakak iparku yang berusia 25 tahun. Kulitnya kuning langsat dengan potongan badannya yang masih unik perhatian lelaki. Tidak heran, pernah Mbak Limah kepergok oleh abangku bermesraan dengan laki-laki lain.
“Tolong ambilkan Mbak handuk”, pinta Mbak Limah saat aku masih termangu-mangu.
Aku mengarah ke ke lemari pakaian lalu menerbitkan handuk dan kuberikan kepadanya.
“Terima kasih Den Mad”, katanya dan aku hanya mengangguk-angguk saja.
Kasihan Mbak Limah, dia ialah wanita yang sangat lemah lembut. Suaranya halus dan lembut. Bibirnya senantiasa terukir senyum, walaupun dia tidak tersenyum. Rajin dan tidak pernah congkak atau membantah. Dianggapnya lokasi tinggal abangku seperti lokasi tinggal keluarganya sendiri. Tak pernah terdapat yang menyuruhnya sebab dia tahu tanggung jawabnya.
Kadang-kadang saya memberinya tidak banyak uang, bila saya datang ke sana. Bukan sebab apa, karena dia memiliki sifat yang dapat membuat orang sayang kepadanya. Abangku tidak pernah memarahinya. Gajinya masing-masing bulan ditabung di bank. Pakaiannya dibelikan oleh kakak iparku nyaris setiap bulan. Memang dia cantik, dan tak tahu apa sebabnya sampai suaminya menceraikannya. Kabarnya dia benci sebab suaminya main serong. Hampir 6 tahun lebih dia menjanda sesudah menikah melulu 3 bulan. Sekarang dia baru berusia 33 tahun, masih muda.
Kalau masalah kecantikan, memang kulitnya putih. Dia keturunan Cina. Rambutnya mengurai lurus sampai ke pinggang. Dibandingkan dengan kakak iparku, setiap ada kelebihannya. Kelebihan Mbak Limah merupakan sikapnya untuk semua orang. Budi bahasanya halus dan sopan.
Mbak Limah berdiri lalu mengupayakan berjalan mengarah ke ke kamar mandi. Melihat keadaannya masih terhuyung-huyung, dengan cepat kupegang tangannya guna membantu. Sebelah tanganku memegang pinggang Mbak Limah. Kutuntun mengarah ke ke pintu kamar mandi. Terasa sayang guna kulepaskan peganganku, sebelah lagi tanganku melekat di pinggangnya.
Mbak Limah menghadap ke diriku ketika kutatap wajahnya. Mata kami saling bertatapan. Kulihat Mbak Limah kelihatannya senang dan menyenangi apa yang kulakukan. Tanganku jadi lebih berani mengusap-usap lengannya kemudian ke dadanya. Kuusap dadanya yang kenyal menegang dengan puting yang mulai mengeras. Kudekatkan mulutku untuk menghirup pipinya. Dia berpaling menyamping, kemudian kutarik lagi pipinya. Mulut kamipun bertemu. Aku menghirup bibirnya. Inilah kesatu kalinya aku melakukannya untuk seorang wanita.
Erangan halus terbit dari mulut Mbak Limah. Ketika kedua tanganku meremas punggungnya dan lidahku mulai menjalari leher Mbak Limah. Ini semua dampak film BF dari CD-Rom yang tidak jarang kutonton dari lokasi tinggal teman.
Mbak Limah bersandar ke dinding, namun tidak meronta. Sementara tanganku menyusup masuk ke dalam bajunya, mulut dan lidahnya kukecup. Kuhisap dan kugelitik langit-langit mulutnya. Kancing BH-nya kulepaskan. Tanganku bergerak bebas mengelus buah dadanya. Putingnya kupegang dengan lembut. Kami sama-sama hanyut diayun kenikmatan walaupun kami masih berdiri bersandar di dinding.
Kami terangsang tak karuan. Nafas kami semakin memburu. Aku merasa tubuh Mbak Limah menyandar ke dadaku. Dia kelihatannya pasrah. Baju daster Mbak Limah kubuka. Di dalam cahaya remang dan hujan lebat itu, kutatap wajahnya. Matanya terpejam. Daging kenyal yang sekitar ini terbungkus apik menghiasi dadanya kuremas perlahan-lahan.
Bibirku mengecup puting buah dadanya secara perlahan. Kuhisap puting yang mengeras itu sampai memerah. Mbak Limah semakin gelisah dan nafasnya telah tidak tertata lagi. Tangannya binal menarik-narik rambutku, sementara aku terbenam di celah buah dadanya yang membusung. Mulutnya mendesah-desah, “Ssshh…, sshh!”.
Puting payudaranya yang merekah tersebut kujilat berulangkali seraya kugigit perlahan-lahan. Kulepaskan ikatan kain di pinggangnya. Lidahku sekarang bermain di pusar Mbak Limah, seraya tanganku mulai mengusap-usap pahanya. Ketika kulepaskan ikatan kainnya, tangan Mbak Limah semakin kuat unik rambutku.
“Den Maddd…, Den Mad”, suara Mbak Limah memanggilku perlahan. Aku terus mengerjakan usapanku. Nafasnya terengah-engah saat celana dalamnya kutarik ke bawah. Tanganku mulai menyentuh wilayah kemaluannya. Rambut halus di dekat kemaluannya kuusap-usap perlahan.
Ketika lidahku baru menyentuh kemaluannya, Mbak Limah menarikku berdiri. Pandangan matanya tampak sayu laksana menyatakan sesuatu. Pandangannya ditujukan ke lokasi tidurnya. Aku segera memahami maksud Mbak Limah seraya membimbing Mbak Limah mengarah ke tempat tidur. Bau kemaluannya memicu sekali. Dengan satu bau khas yang sulit diceritakan.
“Den Maddd…”, bisiknya perlahan di telingaku. Aku terdiam sambil mengekor apa yang kuinginkan. Mbak Limah sepertinya tidak mempedulikan saja. Kami benar-benar tenggelam. Mbak Limah sekarang kutelanjangkan. Tubuhnya berbaring telentang seraya kakinya menyentuh lantai. Seluruh tubuhnya lumayan menggiurkan. Mukanya berpaling ke sebelah kiri. Matanya terpejam. Tangannya memeluk kain sprei. Buah dadanya membusung seperti mohon disentuh.
Puting susunya tampak berair sebab liur hisapanku tadi. Perutnya mulus dan pusarnya lumayan indah. Kulihat tidak terdapat lipatan dan lemak laksana perut perempuan yang sudah melahirkan. Memang Mbak Limah tidak mempunyai anak sebab dia bercerai sesudah menikah 3 bulan. Kakinya merapat. Karena tersebut aku tidak dapat menyaksikan seluruh kemaluannya. Cuma sekumpulan rambut yang lebat halus menghiasi unsur bawah.
Kemudian, tanganku terus membuka kancing bajuku satu-persatu. ritsluiting jeans-ku kuturunkan. Aku telanjang bulat di hadapan Mbak Limah. Penisku berdiri tegang melihat keelokan sosok tubuh Mbak Limah. Buah dada yang membusung dihiasi puting kecil dan wilayah di bulatan putingnya kemerah-merahan. Indah sekali kupandang di celah pahanya. Mbak Limah telentang kaku. Tidak bergerak. Cuma nafasnya saja turun naik.
Lalu akupun duduk di pinggir kasur sambil memeluk tubuh Mbak Limah. Sungguh lembut tubuh mungil Mbak Limah. Kupeluk dengan gemas seraya kulumat mesra bibir ranumnya. Tanganku meraba semua tubuhnya. Sambil memegang puting susunya, kuremas-remas buah dada yang kenyal itu. Kuusap-usap dan kuremas-remas. Nafsuku terangsang semakin hebat. Penisku menyentuh pinggang Mbak Limah. Kudekatkan penisku ke tangan Mbak Limah. Digenggamnya penisku erat-erat kemudian diusap-usapnya.
Memang Mbak Limah tahu apa yang mesti dilakukan. Maklumlah dia pernah menikah. Dibandingkan denganku, aku hanya tahu teori dengan menyaksikan film BF, tersebut saja. Tanganku terus mengelus perutnya sampai ke celah selangkangannya. Terasa berlendir basah di kemaluannya.
Aku berpindah dengan posisi 69. Rupanya Mbak Limah memahami keinginanku. Lalu dipegangnya penisku yang telah tegang dan dimasukkannya ke dalam mulutnya. Mataku terpejam-pejam saat lidah Mbak Limah melumat kepala penisku dengan lembut. Penisku dikulum hingga ke pangkalnya. Sukar guna dibayangkan alangkah nikmatnya diriku. Bibir Mbak Limah terasa menarik-narik batang penisku. Tidak tahan diperlakukan begitu aku kemudian mengerang menyangga nikmat.
Kubuka lebar-lebar paha Mbak Limah sambil menggali liang vaginanya. Kusibakkan vaginanya yang sudah basah itu. Kujulurkan lidahku seraya memegang clitorisnya. Mbak Limah mendesah. Kujilat-jilat dengan lidahku. Kulumat dengan mulutku. Liang kemaluan Mbak Limah semakin memerah. Bau kemaluannya semakin kuat. Aku jadi semakin terangsang. Seketika kulihat air berwarna putih terbit dari lubang vaginanya. Tentu Mbak Limah sudah lumayan terangsang, pikirku.
Aku berpulang kepada posisi semula. Tubuh kami berhadapan. Tangannya unik tubuhku guna rebah bersama. Buah dadanya tertindih oleh dadaku. Mbak Limah membetulkan posisinya saat tanganku mengupayakan mengusap-usap pangkal pahanya. Kedua Kaki Mbak Limah mulai membuka sedikit saat jariku menyentuh kemaluannya. Lidahku mulai turun ke dadanya. Putingnya kuhisap tidak banyak kasar. Punggung Mbak Limah terangkat-angkat saat lidahku mengitari perutnya.
Akhirnya jilatanku hingga ke celah pahanya. Mbak Limah semakin membuka pahanya saat aku menjilat clitorisnya, kulihat Mbak Limah telah tidak bergerak lagi. Kakinya kadang-kadang mengapit kepalaku sementara lidahku sibuk menggali tempat-tempat yang dapat mendatangkan kesenangan baginya.
Erangan Mbak Limah semakin powerful dan nafasnya juga yang terus mendesah. Rambutku di tarik-tariknya dengan mata terpejam menyangga kenikmatan. Aku bertanya, “Gimana Mbak rasanya?”, suaraku lembut dan tidak banyak manja. Dia tidak menjawab. Dia melulu membuka matanya tidak banyak sambil unik napas panjang. Aku mengerti. Itu bertanda dia setuju. Tanpa disuruh, aku menunjukkan penisku ke arah lubang vaginanya yang sekarang telah tersingkap lebar. Lendir dan liurku sudah banjir di gerbang vaginanya.
Kugesek-gesekan kepala penisku di cairan yang membanjir itu. Perlahan-lahan kutekan ke dalam. Tekanan penisku memang agak tidak banyak susah. Terasa sempit. Kulihat Mbak Limah menggelinjang laksana kesakitan.
“Pelan-pelan Den Madd!”, Mbak Limah berkata dengan nafas sesak. Aku kini mengerti. Kemaluan Mbak Limah telah sempit lagi sesudah 6 tahun tidak disetubuhi, walaupun dia telah tidak perawan lagi. Memang aku belum kawakan kerena ini adalahkesatu kalinya aku menyetubuhi seorang wanita meski umurku telah matang.
Kutekan lagi. Kumasukkan penisku perlahan-lahan. Kutekan punggungku ke depan. paling hati-hati. Terasa memang sempit. Lalu Mbak Limah memegang lenganku erat-erat. Mulutnya meringis laksana orang sedang menggigit tulang. Hanya beberapa penisku yang masuk. Kubiarkan sebentar penisku berhenti, terdiam. Mbak Limah pun terdiam. Tenang.
Sementara itu, kupeluk tubuh Mbak Limah dengan gemas seraya memainkan buah dadanya, menjilat, mengelus dan menggigit-gigit lembut. Mulutnya kukecup seraya lidahnya kumainkan. Kami memang sudah paling bernafsu dan terangsang.
Lalu lantas aku bertanya dengan suara lembut, “Mau diteruskan…?”. Mbak Limah membuka matanya. Di bibirnya tampak senyum manis yang menggairahkan.
Kutekan penisku ke dalam. Kemudian kutarik ke belakang perlahan-lahan. Kuhentakkan perlahan-lahan. Memang sempit kemaluan Mbak Limah, mencengkram semua batang penisku. Penisku terasa laksana tersedot di dalam vagina Mbak Limah. Kami kian terangsang!
Penisku mulai menginjak kemaluan Mbak Limah lebih lancar. Terasa hangatnya sungguh menggairahkan. Mata Mbak Limah tersingkap menatapku dengan pandangan yang sayu saat penisku mulai kukeluar-masukkan. Bibirnya dicibirkan rapat-rapat laksana tidak sabar menantikan tindakanku selanjutnya.
Sedikit demi tidak banyak penisku masuk hingga ke pangkalnya. Mbak Limah mendesah dan merintih seiring dengan keluar-masuknya penisku di kemaluannya. Kadang-kadang punggung Mbak Limah terangkat-angkat menyambut penisku yang telah melekat di kemaluannya.
Berpuluh-puluh kali kumaju-mundurkan penisku seiring dengan nafas kami yang tidak tertata lagi. Suatu saat aku menikmati badan Mbak Limah mengejang dengan mata yang tertutup rapat. Tangannya mendekap erat-erat pinggangku. Punggungnya terangkat tinggi dan satu keluhan berat terbit dari mulutnya secara pelan. Denyutan di kemaluannya terasa powerful seakan melumatkan penisku yang tertanam di dalamnya.
Goyanganku semakin kuat. Kasur Mbak Limah bergoyang menerbitkan bunyi berdecit-decit. Leher Mbak Limah kurengkuh erat seraya badanku rapat menindih badannya. Ketika tersebut seolah-olah aku menikmati ada denyutan yang menandakan air maniku bakal keluar. Denyutan yang semakin keras menciptakan penisku semakin menegang keras. Mbak Limah mengimbanginya dengan menggoyangkan pinggulnya.
Goyanganku semakin kencang. Kemaluan Mbak Limah semakin keras mengapit penisku. Kurangkul tubuhnya kuat-kuat. Dia diam saja. Bersandar pada tubuhku, Mbak Limah lunglai laksana tidak bertenaga. Kugoyang terus sampai tubuh Mbak Limah laksana terguncang-guncang. Dia tidak mempedulikan saja perlakuanku itu. Nafasnya semakin kencang.
Dalam suasana sangat menggairahkan, kesudahannya aku hingga ke puncak. Air maniku muncrat ke dalam kemaluan Mbak Limah. Bergetar badanku ketika maniku muncrat. Mbak Limah mengait pahaku dengan kakinya. Matanya tersingkap lebar memandangku. Mukanya serius. Bibir dan giginya dicibirkan. Nafasnya terengah-engah. Dia merintih agak kuat.
Waktu aku memuntahkan lahar maniku, tusukanku dengan powerful menghunjam masuk ke dalam. Kulihat Mbak Limah menggelepar-gelepar. Dadanya terangkat dan kepalanya mendongak ke belakang. Aku tak sempat segala-galanya. Untuk sejumlah saat kami merasakan kesenangan itu. Beberapa tusukan tadi memang menciptakan kami hingga ke puncak bersama-sama. Memang hebat. Sungguh puas.
Memang berikut kesatu kalinya aku mengerjakan senggama. Mbak Limah lah perempuan kesatu yang menemukan air perjakaku. Walaupun dia seorang janda, bagiku dia ialah wanita yang paling cantik. Waktu kami mengerjakan senggama tadi, kami berkhayal entah kemana. Mbak Limah memang hebat dalam permainannya. Sebagai seorang yang tidak pernah merasakan kesenangan persetubuhan, bagiku Mbak Limah sungguh-sungguh memberiku surga dunia.
Aku tergeletak lemas di sisi Mbak Limah. Mataku terpejam rapat seolah tidak terdapat tenaga guna membukanya. Dalam hati aku puas sebab dapat mengimbangi permainan ranjang Mbak Limah. Kulihat Mbak Limah tertidur di sebelahku. Kejadian yang tidak pernah kuimpikan, terjadi tanpa bisa dielakkan. Mbak Limah pun telentang dengan mata tertutup laksana kelelahan, barangkali lelah sesudah dapat menghilangkan kemauan batinnya semenjak menjanda 6 tahun yang lalu.
Kami masih berpelukan. Kemudian Mbak Limah terasa laksana mengusap mukaku. Kubuka mataku. Dia tersenyum. Aku tersenyum. Seolah-olah kami tidak merasa mengherankan berpelukan tanpa sehelai benang juga di tubuh kami. Dia menghirup bibirku.
Dia berbisik ketelingaku, “Terima kasih ya Den Mad. Mbak…” Belum sempat dia menguras kata-katanya, aku bertanya, “Mbak puas…?”. Dia tersenyum dan mengangguk. “Dua kali!”, jawabnya ringkas.
“Den Mad anda memang hebat, penismu pun besar! Panjang!”, katanya.
Sementara tersebut ia mengocokkan batang penisku. Suaranya membangunkan gairahku.
“Mbak suka?”, tanyaku. Dia tersenyum. Dia mengangguk tanda suka. Saat tersebut juga tanganku memegang buah dadanya. Tangannya mengocok terus penisku. Penisku tegang lagi. Kami jadi terangsang lagi.
“Mbak inginkan lagi?”, tanyaku dengan suara manja. Dia tersenyum manis. Apa yang kuimpikan sekarang benar-benar menjadi kenyataan. Perlahan-lahan kubuka selimutnya. Kulihat kaki Mbak Limah telah mengejang. Sedikit demi tidak banyak terus kutarik selimutnya ke bawah. Segunduk daging mulai terlihat. Ufff…, detak jantungku pulang berdegup kencang. Kunikmati pulang tubuh Mbak Limah tanpa perlawanan. Gundukan bukit kecil yang bersih, dengan bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di sekelilingnya, terlihat berkilat di depanku.
Kurentangkan kedua kakinya sampai terlihat suatu celah kecil di balik gundukan bukit Mbak Limah. Kedua belahan bibir mungil kemaluannya kubuka. Melalui celah tersebut kulihat seluruh rahasia di dalamnya. Aku menelan air liurku sendiri seraya melihat kesenangan yang sudah menanti. Kudekatkan kepalaku untuk menganalisis pemandangan yang lebih jelas. Memang estetis membangkitkan birahi. Tak dapat aku menyangga ledakan birahi yang menghambat nafasku. Segera kudekatkan mulutku seraya mengecup bibir kemaluan Mbak Limah dengan bibir dan lidahku.
Rakus sekali lidahku menjilati masing-masing bagian kemaluan Mbak Limah. Terasa laksana tak hendak aku menyia-nyiakan peluang yang dihidangkannya. Setiap kali lidahku mengurangi keras ke unsur daging kecil yang menonjol di mulut vaginanya, Mbak Limah mendesis dan mendesah keenakan. Lidah dan bibirku menjilat dan mengecup perlahan. Beberapa kali kulihat Mbak Limah mengejangkan kakinya.
Aku sangat merasakan bau khas dari liang kemaluan Mbak Limah yang mengisi relung hidungku. Membuat lidahku bergerak semakin menggila. Kutekan lidahku ke lubang kemaluan Mbak Limah yang sekarang sedikit terbuka. Rasanya hendak kumasukkan lebih dalam lagi, namun tidak bisa. Mungkin sebab lidahku tidak cukup keras. Tetapi, kelunakan lidahku tersebut membuat Mbak Limah sejumlah kali mengerang sebab nikmat.
Dalam suasana sudah terangsang, kutarik tubuh Mbak Limah ke posisi menungging. Ia menuruti permintaanku dan bertanya dengan nada manja.
“Den Mad inginkan diapakan badan Mbak?”, bisiknya.
Aku rasa dia tak pernah diperlakukan laksana ini oleh suaminya dulu. Aku diam saja. Kuatur posisinya. Tangannya meremas sprei sampai kusut. Air mani Mbak Limah sudah mengairi kemaluannya. Kubuka pintu kemaluannya. Kulihat dan simaklah dengan seksama. Memang aku tidak pernah menyaksikan kemaluan perempuan serapat itu. Kucium kemaluan Mbak Limah. Bau anyir dan bau air maniku bercampur dengan bau pribumi vagina Mbak Limah yang merangsang. Bau vagina seorang wanita!
Jelas semua! Bulu kemaluan Mbak Limah yang lembab dan melekat berserakan di dekat vaginanya. Kusibakkan tidak banyak untuk memberi ruang. Kumasukkan jari telunjukku ke dalam lubang vaginanya. Kumain-mainkan di dalamnya. Kulihat Mbak Limah menggoyang punggungnya. Kucium dan kugigit daging kenyal punggungnya yang putih bersih itu. Kemudan kurangkul pinggangnya. Kumasukkan penisku ke liang vaginanya. Pinggang Mbak Limah laksana terhentak.
Perlahan-lahan kutusukkan penisku yang besar panjang ke lubang vaginanya dengan posisi “doggy-style”. Tusukanku semakin kencang. Nafsu syahwatku kembali paling terangsang. Kali ini berkali-kali aku mendorong dan unik penisku. Hentakanku memang kasar dan ganas. Kuraih pinggang Mbak Limah. Kemudian berpindah ke buah dadanya. Kuremas-remas semauku, bebas. Rambutnya acak-acakan.
Lama pun Mbak Limah menyangga lampiasan nafsuku kali ini. Hampir separuh jam. Maklumlah ini ialah kedua kalinya. Tusukanku memang hebat. Kadang cepat, kadang pelan. Kudorong-dorong tubuh Mbak Limah. Dia melenguh. Dengusan dari hidungnya memanjang. Berkali-kali. Seperti orang megap-megap kecapaian. “Ehh.. ek, Ekh, Ekh.”
Akirnya aku menikmati air maniku nyaris muntah lagi. Waktu tersebut kurangkul kedua bahu Mbak Limah seraya menusukkan penisku ke dalam. Tenggelam semuanya sampai ke pangkalnya. Waktu itulah kumuntahkan spermaku. Kutarik lagi, dan kuhunjamkan lagi ke dalam. Tiga empat kali kugoyang laksana itu. Mbak Limah tampak pasrah mengekor hentakanku.
Kemudian kupeluk tubuhnya walaupun penisku masih tertancap di dalam kemaluannya. Kuelus-elus buah dadanya. Kudekati mukanya. Kami berciuman. Begitu lama sampai terasa penisku pulang normal. Mbak Limah kelihatannya kelelahan. Keringat mengalir turun di dahi kami. Kami telentang oleng sambil berpelukan. Mbak Limah tampak lemas kemudian tertidur.
Melihat Mbak Limah begitu, dan hujan masih belum reda, birahiku bangkit kembali. Kurangkul tubuh Mbak Limah dan aku bermain sekali lagi. Kali ini Mbak Limah menyerah. Dia tidak menolak. Kumainkan kemaluannya hingga puas. Bau di kamar ini ialah bau air mani kami. Bunyi lokasi tidur juga berdecit-cit. “Ahh… aaghh.”
Sesudah tersebut perlahan-lahan aku berdiri dan menggunakan kembali pakaianku. Aku terbit dari kamar Mbak Limah mengarah ke ke ruang depan. Sewaktu aku keluar, barulah aku sadar pintu kamar Mbak Limah tidak tertutup rapat.
Rupa-rupanya kakak iparku telah pulang. Mendadak aku pucat kalau-kalau kejadian tadi ditonton oleh kakak iparku. Aku terbit sambil mengupayakan berlagak laksana tidak terjadi apa-apa. Kemudian aku duduk di sofa. Sebentar lantas kakak iparku datang membawa minuman. Kulihat mukanya biasa saja. Kuyakinkan diriku bahwa kakak iparku tidak tahu apa yang sudah terjadi tadi antara aku dengan Mbak Limah.
Aku bertanya, “Abang tidak kembali sama Mbak?”
“Tidak. Dia ke Singapore 4 hari!”, jawabnya. Dia tersenyum.
“Minumlah!”, dia mempersilakanku.
Kemudian dia berjalan mengarah ke ke kamarnya. Aku duduk dan menyaksikan film “Airforce One”. “Mbak sebentar lagi inginkan pergi, ambil mobil di sana. Nanti malam tolong anda tidur di sini ya, sekilan jaga rumah!”, katanya pendek.
Memang bagitulah biasanya. Kalau abangku tidak ada, aku yang jadi sopir kakak iparku untuk membawa Mercedez-nya ke mana-mana. Malam tersebut aku tidak kembali ke flatku. Tidur di lokasi tinggal abangku! Memang terdapat kamar eksklusif untukku di rumahnya yang lumayan besar itu. Tapi yang lebih spesial lagi bagiku ialah tidur dalam pelukan Mbak Limah.
No comments:
Post a Comment