Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di halaman, kemudian masuk lewat garasi, laksana biasa. Hampir pingsan aku saat membuka pintu mengarah ke ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya tertutupi majalah “Femina”, tersiar dengkur paling halus dan teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca.
Mengenakan baju-mandi laksana dulu namun ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk. Agaknya berakhir keramas, menyimak terus ketiduran. Model baju mandinya laksana yang warna putih itu, belah di depan dan melulu satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak menggunakan kutang, kelihatan dari format buah dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat hingga ke bulatan bawah buah itu.
Sepasang buah bulat tersebut naik-turun mengekor irama dengkurannya. Berikut berikut yang membuatku nyaris pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sampai-sampai belahan bawah baju-mandi tersebut terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru mengenai tubuh wanita, terutama milik Tante. Tak terdapat celana dalam di sana.
Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti nyaris seluruh “segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur, dari tengah ke arah pinggir tidak banyak ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang estetis sekali! Kelaminku tegang luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, barangkali sedang menyetrika. Kalau Tante berada di ruang ini, seringkali Si Mar tidak kesini, kecuali bila diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas menganalisis kewanitaan Tante, kecuali bila ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati kepunyaan Tante. Kini giliran unsur bawah rambut estetis itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, terdapat benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding kepunyaan bule itu.
Dan di bawah benjolan tersebut ada “pintu”. Pintu tersebut demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang tersebut milikmu ? Bisa saja kini aku melepas celanaku, menunjukkan ujungnya ke situ, serupa gambar kesatu, mendorong, laksana gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku.
Kalau terdapat cermin di situ tentu aku dapat melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus tersiar kembali. Untung., lelap benar tidurnya. Bagian atas baju-mandinya menjadi lebih terbuka sebab gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, namun pikiranku masih waras guna tidak membuka resleting celanaku.
Bisa berantakan masa depanku. Aku “mencatat” sejumlah perbedaan antara kepunyaan Tante dengan kepunyaan bule yang di majalah itu. Rambut, kepunyaan Tante hitam lurus, kepunyaan bule coklat keriting. Benjolan kecil, kepunyaan Tante lebih “panjang”, warna sama-sama pink. Pintu, kepunyaan Tante lebih kecil. Lengkaplah telah aku mempelajari tubuh wanita. Utuhlah telah aku meneliti seluruh tubuh Tante.
Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak kini ? Kesempatan tersingkap di depan mata, lho! Mataku berpindah ke atas, ke bukit yang bergerak naik-turun teratur.
Dada kanannya kian lebar terbuka, terdapat garis tipis warna coklat muda di ujung kain. Itu ialah lingkaran kecil di tengah buah, melulu pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan.
Ya, melulu dengan tidak banyak menggeser tepi baju mandi tersebut ke samping, lengkaplah telah “kurikulum” latihan anatomi tubuh Tante. Dengan amat paling hati-hati tanganku mencapai tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku.
Tapi latihan tak berlalu dong! Ayo, tidak boleh bimbang, toh dia sedang istirahat nyenyak. Ya, dengkurannya yang tertata menandakan ia istirahat nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan tidak boleh sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan tidak banyak demi tidak banyak kugeser ke samping.
Macet, terdapat yang nyangkut rupanya. Angkat tidak banyak lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting tersebut berwarna merah jambu bersih.
Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi. indahnya buah dada ini. Tak tahan aku hendak meremasnya. Jangan, bahaya. Aku mesti cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja cemas Tante terbangun, tapi fobia aku tak dapat menahan diri, menubruk tubuh estetis tergolek nyaris telanjang bulat ini.
Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu kepunyaan Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku guna tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ?
Hari ini aku kembali cepat. Masih terdapat dua mata latihan sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh tidak sedikit juga kawanku yang begitu. Percuma di ruang belajar aku tak dapat berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang siap-siap inginkan pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi istimewa.
Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan, unsur pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang hampir bulat laksana batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang.
Diam-diam aku bangga, karena di balik pakaian senam tersebut aku pernah melihatnya, nyaris seluruhnya! Justru unsur tubuh yang penting-penting telah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir tersebut juga menggoda.
“Iya Tante, ada latihan bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas tampak belahan dadanya saat ia menginjak mobil. Uih, dadanya serasa inginkan “meledak” sebab ketatnya baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.
Selasai mandi hari sudah nyaris gelap. Di ruang family Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku jajaki membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, terdapat kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
“Tumben, anda tidur siang”
“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.
“Kamu suka main voli ?”
“Di Kampung saya tidak jarang olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang pun aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah, Kalau ini barangkali saya dari kecil banting tulang di kebun, Tante” Wow, buah putih tersebut mengintip salah satu kancing kesatu dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
“Kerja apa di kebun ?”
“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada tersebut rasanya inginkan meledak keluar.
“Apa saja yang anda tanam ?” tanyanya lagi sambil mengolah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster tersebut sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster tersebut tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
“Kalau anda mau makan, duluan aja”
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku barangkali yang “lapar”
“Oom tadi nelepon terdapat acara santap malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku agar aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kamu kerasan di sini ?” Ia menunduk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…
“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya tidak sedikit waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau terdapat yang dapat saya tolong Tante, saya siap”
“Ya, anda biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”
“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada dalil buat merasakan betisnya.
“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya ada “celah”. Ada yang sempit, terdapat yang lebar, terdapat yang tertutup. Celah kesatu, lebar sebab busungan dadanya, menyuguhkan unsur kanan atas buah dada kiri. Celah kedua menunjukkan kutang unsur bawah.
Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, terdapat perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi lumayan membuatku tahu bila celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada tidak banyak paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
“Mau tolong Tante kini ?”
“Kapan saja saya siap”
“Betul ?”
“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”
“Pijit kaki Tante, inginkan ?”
Hah ? Aku tak menduga diberi tugas mendebarkan ini
“Biasanya sama Si Mar, namun dia lagi engga ada”
“Tapi saya engga dapat mijit Tante, hanya sekali saya pernah mijit kaki rekan yang keseleo sebab main bola” Aku bercita-cita ia tidak boleh membatalkan perintahnya.
“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu…
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir semua tubuh Tante pernah kulihat, namun baru berikut aku menikmati mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya meneliti bulu-bulu halus.
“Begini Tante, tidak cukup keras engga ?”
“Cukup segitu aja, enak kok”
Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat tersebut bulat menjulang, hingga di pinggang turun menukik, di punggung memanjat lagi. Indah. Kakinya tidak banyak membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha hingga ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, kini aku sungguh-sungguh keras.
“Aah” teriaknya pelan saat tanganku menjamah ke belakang lututnya.
“Maaf Tante”
“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja”
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau terdapat lalat hinggap di paha itu, barangkali tergelincir sebab licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah sebab mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak melulu memijit, terkadang mengelusnya, berakhir tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster berlalu kupijit. Entah sebab aku telah “tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.
“Eeeh” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!
Kedua tanganku terdapat di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat sebab gerakan pijitanku. Kini semua paha kirinya tersingkap gamblang, bahkan beberapa pantatnya yang melambung tersebut tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.
“Enak To, anda pintar pun memijit”
Aku nyaris saja berkomentar :”Paha Tante estetis sekali”. Untung aku masih dapat menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
“Ke atas lagi To” suaranya jadi serak.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku hendak meremas pantat yang menonjol estetis ke belakang itu, sekarang aku diajak memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku sungguh-sungguh meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini malah menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku hendak menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dikomparasikan ketika mendekap tubuh mbak Mar dari belakang.
“Ih, geli To. Udah ah, tidak boleh di situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
“Cape, To ?” tanyanya lagi.
“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, cemas saat mengasyikkan ini berakhir.
“Bener nih ? Kalau masih inginkan terus, kini punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
“Eeh” desahnya pelan.
Turun ke selama kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek tersebut ada pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah tersebut “terbuang” ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.
Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih terdapat lapisan kain daster dan kutang, namun kenyalnya buah tersebut terasa. Punggungnya tidak banyak berguncang, aku kian terangsang.
Ke bawah lagi, aku mencari pinggangnya.
“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
“Depannya Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante hingga menoleh melihatku, kaget mungkin atas usulku yang berani itu.
“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku hendak memijit “depannya punggung” yang dengan kata lain buah dada!
“Boleh aja bila kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menciduk guncangan dadanya saat ia berbalik. Wow! Guncangan tadi mengindikasikan “eksistensi” kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku dapat bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku.
Ia cepat unik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, sebab gerakan berbalik tadi.
Silakan diblokir saja Tante, toh aku telah tahu apa yang terdapat dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih dapat menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja sebab aku hendak cepat-cepat hingga ke atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut bila ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk menjangkau paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster hingga pangkal paha.
“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku kian bebas.
Dengan sendirinya tepi daster tersebut terangkat sebab terdorong tanganku. Samar-samar ada bayang-bayang hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan teknik begini, sah-sah saja kalau ibu jari tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi guna meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.
“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
“Ya, Tante” seketika suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, separuh tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, barangkali saja, tapi bila mengajak ? Jangan terlampau berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi mencari lengkungan pinggulnya yang estetis itu, membelai. Habis tak tahan.
“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku terdapat di balik dasternya, membelai mengikuti lengkungan samping pinggul.
“Too …. ” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.
“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku telah dekat dengan wajahnya.
Matanya lantas terpejam, mulut separuh terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, telah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
“Ehhmmmm” Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya mendekap punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya tersiar memburu. Aku bukan lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sampai-sampai tepat salah satu pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa anda cium, anda remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya sudah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Di samping besar, padat, dan kenyal, ternyata pun halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa membalas aku mengusung tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.
“Ke kamarmu saja”
Sebelum hingga ke dipanku, Tante mohon turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menyangga dadaku.
“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.
Kulepas semua kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada tersebut serasa inginkan meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menyangga sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
“Eehhmmmmmm” dengusnya
Dengan kendala ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan menerbitkan “isinya”
“Eehhh” Ia melepas ciuman, menyaksikan ke bawah.
“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
“Besar sekali”
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, tidak boleh sampai keluar. Aku hendak pengalaman baru, Tante. Ingin menginjak kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas tali kutangnya, namun yang belakang sulit dilepas. Tante membantu. Buah dada tersebut terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut tersebut terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku mesti bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik pun celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang tersebut ramping, perut tersebut rata, ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus tersebut menggemaskan, dijepit oleh sepasang paha yang hampir bulat. Seluruhnya dibungkus kulit yang putih dan mulusnya bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dimulai lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlampau ke bawah. Ah, dia ‘kan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku menghampiri tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja laksana kerbau dicucuk hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah kupikir masa-masa kesatu kali aku menyaksikan kelamin Tante sejumlah hari lalu, mana lumayan lubang sesempit tersebut menampung kelaminku yang lagi tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, menunjukkan penisku lagi, dan aku kini yang mendorong. Kepalanya telah separoh tenggelam, namun macet!
“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa terdapat sesuatu yang mengapit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat, kian sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik tidak banyak lagi, dan kudorong lagi.
“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too” Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekali…
Tak tahaaaaaann…
“Tahan dulu, To”
Tak mungkin, telah geli sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya hingga ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
“Genjot lagi, To” teriaknya
Mana bisa.
“Ayo, To”
Aku telah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
“Tooooo, ..”
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku telah selesai!
“Eeeeeeeeehh” keluhnya, kelihatannya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, kemudian sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa menit yang kemudian aku merasakan peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kesenangan yang luar biasa. Kenikmatan bersangkutan kelamin.
Nikmatnya sulit digambarkan.
Hubungan kelamin antara lelaki yang mulai memasuki dewasa dengan perempuan dewasa muda.
Sama-sama diharapkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, namun Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menciduk wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah pun menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kesenangan luar biasa sedangkan aku tak dapat memberi kepuasan untuk “lawan mainku”, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia hendak terus sedangkan aku telah selesai.
Aku bingung bagaimana menanggulangi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas menyaksikan plafon.
Aku mesti ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, sarat perasaan.
“Maafkan saya, Tante”
Tante menoleh, tersenyum dan balas menghirup pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
“Kamu engga perlu mohon maaf, To”
“Harus Tante, saya tadi nikmat sekali, kebalikannya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum empiris Tante. Baru kali ini saya mengerjakan itu”
“Betul ? Baru kesatu anda melakukan ?”
“Sungguh Tante”
“Engga apa-apa, To. Tante dapat mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya sebab belum biasa saja. Syukurlah bila kamu tadi dapat menikmati”
“Nikmaaat sekali, Tante”
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku laksana ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia anda berdua saja ya ? Tante mohon kamu tidak boleh katakan urusan ini pada siapapun”
“Tentu Tante, awalnya sayapun inginkan bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Gimana bila Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.
“Nanti apa ?”
“Akibat tindakan tadi, kemudian Tante ..”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“Engga usah anda pikirkan. Tante telah jaga-jaga”
“Saya engga memahami Tante”
“To, beda kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante mesti mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”
Ah, celaka. Sampai tak sempat waktu. Aku bangkit berkeinginan mencabut.
“Pelan-pelan To” katanya seraya menyeringai, kemudian matanya terpejam
“Eeeeeehhh” desahnya nyaris tak terdengar, saat aku menarik keluar kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada tersebut belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
“Tante ” aku memanggil saat ia sudah apik kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di sekitar kupingnya
“Terima kasih, Tante” kemudian kucium pipinya.
“Ya ” jawabnya singkat.
“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi seraya menggenggam penisku masa-masa bilang ‘niih’
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam ini kesatu kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran hingga “keterusan”. Pertama kali penisku menginjak kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.
Lebih istimewa lagi, perempuan itu ialah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunya…..
Padahal wanita tersebut sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih estetis dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita tersebut Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan empiris baru dari isterinya! Aku memperoleh kesenangan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang mengongkosi sekolahku, yang memberiku santap dan lokasi tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku kini jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru bila semua kekeliruan ditimpakan kepadaku.
Siapa yang mengajak memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja, mengapa pakai membelai ?
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih paling muda, tapi telah matang secara seksual, gampang terrangsang.
Tante sendiri, mengapa tidak menampik ? Bisa saja ia menempelengku saat aku mau menghirup bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menampik waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, dapat saja memberontak masa-masa ia merogoh celana dalamku, masa-masa ia menggenggam kelaminku dan ditunjukkan ke kelaminnya….
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku hendak mengulangi ……….!
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom masa-masa kami berbicara. Mungkin sebab ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada percakapan penting masa-masa makan.
Tante bangkit menuangkan minuman bikin Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang terdapat di depanku ini, yang kini tertutup rapat, telah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima latihan hari ini. Pikiranku ke lokasi tinggal terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku hendak lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia hendak lagi ? Aku meragukannya, menilik semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya tidak banyak lebih mesra kepadaku. Memangnya anda ini siapa.
Lebih baik begitu, lumrah saja, ‘kan terdapat suaminya.
Dua hari lantas ketika aku kembali sekolah, kulihat terdapat mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu bila aku ..
Ah, jangan beranggapan begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada evolusi apa-apa. Sikap Tante pun wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu menginginkan “dalam”-nya, meski pakaian Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku telah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku sungguh-sungguh tersiksa. Terlihat paha Tante yang tidak banyak tersingkap saja, aku langsung “naik”. Ooh..! Aku hendak lagiiiiii.
Siang ini aku santap sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom tentu ada di dalam, mobilnya ada. Tante pun tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap terdapat rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya anda siapa ?
Baru saja aku selesai mencicipi sendok terakhir makananku, lantas mengusung gelas, saat tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpukau oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi Tante”
Ia tutup pintu kamarnya kembali kemudian mendekatiku, dan tiba-tiba menghirup pipiku erat, lenganku menikmati lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak menggunakan kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum sebab kaget.
“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante telah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia pulang lagi, aku berdiri guna memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut seraya matanya melirik ke kamar. Aku memahami isyarat ini. Jangan ganggu, terdapat suaminya.
Sejam lantas kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bareng Tante. Oom Ton berpakaian apik berdasi, seperti berkeinginan ke kantor, sementara Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
“Tarto” Oom Ton memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom inginkan ke Bandung, dua hari. Kamu jaga lokasi tinggal ya ?”
Ini rupanya kabar gembira itu!
“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam tiga”
Dua hari Oom tak terdapat di rumah, pastinya dua malam juga. Dua malam aku mengawal rumah, bareng Tante.
Dua malam bareng Tante ? Bukan main!. Eit, jangan bercita-cita dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok anda yakin kabar gembiranya Tante ialah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok tentu ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya, Ma”
“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”
“Mama pun hati-hati di rumah”
Oom menghirup pipi Tante, kemudian menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya To”
“Ya, Oom”
Seisi lokasi tinggal mengantar Oom hingga depan pintu pagar, melambai hingga mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke lokasi tinggal kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh bercita-cita dan kepalaku sarat rencana.
Luki diangkut pengasuhnya ke lokasi tinggal sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak menggunakan kutang. Wah, telah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante tidak banyak kaget, kemudian berbalik menjawab pelukanku. Cuma sebentar, mencungkil diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di kepalaku dapat terlaksana malam ini.
Kami duduk bersebelahan di sofa, tidak banyak berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku telah tegang dari tadi. Sekarang baru jam separuh empat sore. Berapa jam lagi aku harus menantikan ? Oh, lama sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak mampu lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang terdapat di pahanya. Dengan begini aku dapat meremas-remas tangannya sambil menikmati lembutnya paha. Ia sesekali menjawab remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya guna membuka halaman kitab bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha tersebut masih laksana yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku kian berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai tersiar meningkat “volume”nya.
Diletakkannya kitab itu seraya menghela nafas panjang.
“To., anda engga sabaran, ya ?” katanya seraya memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan saya Tante, saya.. saya ..engga powerful lagi Tante, saya hendak lagi, Tante” Kataku terputus-putus menyangga birahi yang mendesak. Kelaminku pun mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante, saya menginginkan terus masing-masing ..hari” kataku separuh memohon. Aku yakin Tantepun sebetulnya telah terangsang, tampak dari nafasnya dan aku menikmati basah di celananya. Aku telah sampai pada titik yang tak barangkali surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi di samping berlanjut ?
“Saya mohon, Tante” sekarang aku sungguh-sungguh memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dibimbing ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada tersebut yang melulu ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga hari lalu, masa-masa aku kesatu kali meniduri Tante (memang baru kesatu kali aku bersangkutan sex), aku belum sempat merasakan buah dada ini. Waktu tersebut kami telah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu saat kutangnya telah terbuka, Tante telah keburu membimbing kelaminku memasukinya.
Sekaranglah peluang untuk merasakan dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada tersebut mengagumkan.
Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang laksana parit kecil salah satu dua bukit.
Halusnya buah tersebut dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke kiri, ke dada unsur atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus tersebut dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit tersebut haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku selesai di puncaknya. Kumasukkan putting tersebut kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.
Tangannya mengurangi kepalaku.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting tersebut mengeras. Puting satunya lagi pun mengeras, terasa salah satu telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada keserupaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi semua permukaan buah yang paling halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada tersebut demikian halus, sampai-sampai ada tidak banyak yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah unik perhatianku.
Kulepaskan mulutku dari dadanya, hendak memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante terdapat bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang masa-masa makan. Ini tentu “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting tersebut kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya seraya terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit pasti nanti berbekas, jelas empunya sahnya, Oom Ton, bakal curiga!
“Maafkan saya Tante, berakhir gemas sih.”
“Yahhh.engga apa-apa. Kamu mesti ingat, ini rahasia anda saja”
Dipegangnya dadanya sendiri kemudian disodorkannya ke mulutku. Gantian, kini dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya guna pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya telah semuanya terlepas, menyibak kesamping, bermukim celana dalamnya saja. Dada tersebut rasanya kian besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, namun ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, kemudian kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang tersebut keluar dengan gagahnya serupa di depan mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”
Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku seraya masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan jernih di sana. Kutindih tubuhnya kemudian kakinya mengapit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit tersebut terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dibimbing lagi. Aku telah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, kemudian kudorong hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”
Kepalanya telah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu dapat “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang urgen enak.
Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, hingga habis, hingga mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”
Nyaman, telah didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, unik dan mendorong. Mulut Tante menerbitkan bunyi-bunyian masing-masing aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau ucapan-ucapan yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari kemudian berulang. Baru sejumlah kali “tusuk” aku sudah menikmati geli luar biasa. Nampaknya aku tak dapat menahan lagi. Ah, mengapa begini ? Aku tak dapat tahan lama. Aku khawatir jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah nyaris tiba di puncak.
Aku jajaki berhenti bergerak seraya menahan supaya jangan sampai terbit dulu, persis bila aku menyangga kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh unsur tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan sukses menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, kian cepat malah. Ocehan Tantepun kian ngawur.
Aku jadi cepat, kian cepat dan semakin cepat, kemudian ……. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Tante berhenti berputar, lalu mengapit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan tidak sedikit sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku selesai. Selesai menggetar, berlalu mengejang, berlalu melepas, berlalu semuanya. Tanteku berlalu terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana Tante, saya engga dapat menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya melulu memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang sudahlah, anda lumayan tadi”
“Lumayan gimana Tante ?”
“Ada peradaban dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante hanya menghibur saya”
“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, namun kocokanmu tadi dapat Tante nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena anda belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama anda akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”
“Gimana metodenya supaya saya dapat lama, Tante ?’
“Nanti anda akan tahu sendiri”
“Ajarin saya ya, Tante”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante menyaksikan jam, pukul empat sore, kemudian bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu, ya ?”
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang beda kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya berpakaian. Aku serasa menolong isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante tidak boleh kapok, ya ? Tarto hendak kita terus begini”
“Oh, tersebut maksudmu. Asal kamu dapat jaga rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga mesti hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku
Malam tersebut aku nonton TV sendirian. Tante terdapat di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku menginginkan Tante bakal ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, kemudian ciuman, raba-raba, dan …diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi senja aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku hendak lagi! Aku hendak kenikmatan tersebut lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum pun muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini ialah malam kesatu Oom tak terdapat di rumah. Ayolah Tante, ini peluang yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, kemudian aku masuk ?
Ah jangan. Itu tidak cukup ajar, namanya.
Tubuh estetis itu sendirian di kamar.
Buah dada putih tersebut tak terdapat yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus tersebut tak terdapat yang memasukinya malam ini.
Kenapa anda tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, bila ia perlu tentunya bakal mendekatiku.
Jam 10, belum terdapat tanda-tanda.
Aku putuskan, malam ini memang Tante enggan diganggu. Biar sajalah. Toh kelak siang, sore, atau malam masih terdapat kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, kelak sajalah.
Tapi aku hendak malam ini!
Aku hendak malam ini kelaminku masuk dan lantas mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian aku menerbitkan penisku yang telah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.
Karena tidak terdapat Oom Ton, aku jadi kian berani menggoda Tanteku. Seperti masa-masa sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang tersingkap di meja makan. Bahkan menghirup pipinya.
“Hati-hati, To”
“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat suasana dulu”
“Mar terdapat di belakang” katanya.
“Tante”
“Ehm ?”
“Tarto sayang Tante”
“Aku udah terdapat yang punya, To” katanya seraya mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”
“Ya. Tante tahu, anda nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ inginkan terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung terdapat kesempatan. Sekarang pun saya mau” kataku nakal.
“Gila, anda To. Awas tidak boleh sampai mengganggu sekolahmu!”
“Habis Tante sungguh-sungguh menggemaskan” Aku ngaceng lagi!
“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”
“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”
“Lihat dulu nanti”
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang bakal kuperbuat nanti bareng Tante.lah di depan dan melulu satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak menggunakan kutang, kelihatan dari format buah dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat hingga ke bulatan bawah buah itu.
Sepasang buah bulat tersebut naik-turun mengekor irama dengkurannya. Berikut berikut yang membuatku nyaris pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sampai-sampai belahan bawah baju-mandi tersebut terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru mengenai tubuh wanita, terutama milik Tante. Tak terdapat celana dalam di sana.
Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti nyaris seluruh “segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur, dari tengah ke arah pinggir tidak banyak ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang estetis sekali! Kelaminku tegang luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, barangkali sedang menyetrika. Kalau Tante berada di ruang ini, seringkali Si Mar tidak kesini, kecuali bila diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas menganalisis kewanitaan Tante, kecuali bila ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati kepunyaan Tante. Kini giliran unsur bawah rambut estetis itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, terdapat benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding kepunyaan bule itu.
Dan di bawah benjolan tersebut ada “pintu”. Pintu tersebut demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang tersebut milikmu ? Bisa saja kini aku melepas celanaku, menunjukkan ujungnya ke situ, serupa gambar kesatu, mendorong, laksana gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku.
Kalau terdapat cermin di situ tentu aku dapat melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus tersiar kembali. Untung., lelap benar tidurnya. Bagian atas baju-mandinya menjadi lebih terbuka sebab gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, namun pikiranku masih waras guna tidak membuka resleting celanaku.
Bisa berantakan masa depanku. Aku “mencatat” sejumlah perbedaan antara kepunyaan Tante dengan kepunyaan bule yang di majalah itu. Rambut, kepunyaan Tante hitam lurus, kepunyaan bule coklat keriting. Benjolan kecil, kepunyaan Tante lebih “panjang”, warna sama-sama pink. Pintu, kepunyaan Tante lebih kecil. Lengkaplah telah aku mempelajari tubuh wanita. Utuhlah telah aku meneliti seluruh tubuh Tante.
Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak kini ? Kesempatan tersingkap di depan mata, lho! Mataku berpindah ke atas, ke bukit yang bergerak naik-turun teratur.
Dada kanannya kian lebar terbuka, terdapat garis tipis warna coklat muda di ujung kain. Itu ialah lingkaran kecil di tengah buah, melulu pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan.
Ya, melulu dengan tidak banyak menggeser tepi baju mandi tersebut ke samping, lengkaplah telah “kurikulum” latihan anatomi tubuh Tante. Dengan amat paling hati-hati tanganku mencapai tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku.
Tapi latihan tak berlalu dong! Ayo, tidak boleh bimbang, toh dia sedang istirahat nyenyak. Ya, dengkurannya yang tertata menandakan ia istirahat nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan tidak boleh sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan tidak banyak demi tidak banyak kugeser ke samping.
Macet, terdapat yang nyangkut rupanya. Angkat tidak banyak lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting tersebut berwarna merah jambu bersih.
Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi. indahnya buah dada ini. Tak tahan aku hendak meremasnya. Jangan, bahaya. Aku mesti cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja cemas Tante terbangun, tapi fobia aku tak dapat menahan diri, menubruk tubuh estetis tergolek nyaris telanjang bulat ini.
Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu kepunyaan Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku guna tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ?
Hari ini aku kembali cepat. Masih terdapat dua mata latihan sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh tidak sedikit juga kawanku yang begitu. Percuma di ruang belajar aku tak dapat berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang siap-siap inginkan pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi istimewa.
Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan, unsur pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang hampir bulat laksana batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang.
Diam-diam aku bangga, karena di balik pakaian senam tersebut aku pernah melihatnya, nyaris seluruhnya! Justru unsur tubuh yang penting-penting telah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir tersebut juga menggoda.
“Iya Tante, ada latihan bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas tampak belahan dadanya saat ia menginjak mobil. Uih, dadanya serasa inginkan “meledak” sebab ketatnya baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.
Selasai mandi hari sudah nyaris gelap. Di ruang family Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku jajaki membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, terdapat kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
“Tumben, anda tidur siang”
“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.
“Kamu suka main voli ?”
“Di Kampung saya tidak jarang olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang pun aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah, Kalau ini barangkali saya dari kecil banting tulang di kebun, Tante” Wow, buah putih tersebut mengintip salah satu kancing kesatu dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
“Kerja apa di kebun ?”
“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada tersebut rasanya inginkan meledak keluar.
“Apa saja yang anda tanam ?” tanyanya lagi sambil mengolah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster tersebut sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster tersebut tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
“Kalau anda mau makan, duluan aja”
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku barangkali yang “lapar”
“Oom tadi nelepon terdapat acara santap malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku agar aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kamu kerasan di sini ?” Ia menunduk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…
“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya tidak sedikit waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau terdapat yang dapat saya tolong Tante, saya siap”
“Ya, anda biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”
“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada dalil buat merasakan betisnya.
“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya ada “celah”. Ada yang sempit, terdapat yang lebar, terdapat yang tertutup. Celah kesatu, lebar sebab busungan dadanya, menyuguhkan unsur kanan atas buah dada kiri. Celah kedua menunjukkan kutang unsur bawah.
Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, terdapat perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi lumayan membuatku tahu bila celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada tidak banyak paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
“Mau tolong Tante kini ?”
“Kapan saja saya siap”
“Betul ?”
“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”
“Pijit kaki Tante, inginkan ?”
Hah ? Aku tak menduga diberi tugas mendebarkan ini
“Biasanya sama Si Mar, namun dia lagi engga ada”
“Tapi saya engga dapat mijit Tante, hanya sekali saya pernah mijit kaki rekan yang keseleo sebab main bola” Aku bercita-cita ia tidak boleh membatalkan perintahnya.
“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu…
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir semua tubuh Tante pernah kulihat, namun baru berikut aku menikmati mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya meneliti bulu-bulu halus.
“Begini Tante, tidak cukup keras engga ?”
“Cukup segitu aja, enak kok”
Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat tersebut bulat menjulang, hingga di pinggang turun menukik, di punggung memanjat lagi. Indah. Kakinya tidak banyak membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha hingga ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, kini aku sungguh-sungguh keras.
“Aah” teriaknya pelan saat tanganku menjamah ke belakang lututnya.
“Maaf Tante”
“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja”
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau terdapat lalat hinggap di paha itu, barangkali tergelincir sebab licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah sebab mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak melulu memijit, terkadang mengelusnya, berakhir tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster berlalu kupijit. Entah sebab aku telah “tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.
“Eeeh” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!
Kedua tanganku terdapat di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat sebab gerakan pijitanku. Kini semua paha kirinya tersingkap gamblang, bahkan beberapa pantatnya yang melambung tersebut tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.
“Enak To, anda pintar pun memijit”
Aku nyaris saja berkomentar :”Paha Tante estetis sekali”. Untung aku masih dapat menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
“Ke atas lagi To” suaranya jadi serak.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku hendak meremas pantat yang menonjol estetis ke belakang itu, sekarang aku diajak memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku sungguh-sungguh meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini malah menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku hendak menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dikomparasikan ketika mendekap tubuh mbak Mar dari belakang.
“Ih, geli To. Udah ah, tidak boleh di situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
“Cape, To ?” tanyanya lagi.
“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, cemas saat mengasyikkan ini berakhir.
“Bener nih ? Kalau masih inginkan terus, kini punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
“Eeh” desahnya pelan.
Turun ke selama kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek tersebut ada pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah tersebut “terbuang” ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.
Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih terdapat lapisan kain daster dan kutang, namun kenyalnya buah tersebut terasa. Punggungnya tidak banyak berguncang, aku kian terangsang.
Ke bawah lagi, aku mencari pinggangnya.
“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
“Depannya Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante hingga menoleh melihatku, kaget mungkin atas usulku yang berani itu.
“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku hendak memijit “depannya punggung” yang dengan kata lain buah dada!
“Boleh aja bila kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menciduk guncangan dadanya saat ia berbalik. Wow! Guncangan tadi mengindikasikan “eksistensi” kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku dapat bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku.
Ia cepat unik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, sebab gerakan berbalik tadi.
Silakan diblokir saja Tante, toh aku telah tahu apa yang terdapat dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih dapat menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja sebab aku hendak cepat-cepat hingga ke atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut bila ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk menjangkau paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster hingga pangkal paha.
“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku kian bebas.
Dengan sendirinya tepi daster tersebut terangkat sebab terdorong tanganku. Samar-samar ada bayang-bayang hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan teknik begini, sah-sah saja kalau ibu jari tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi guna meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.
“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
“Ya, Tante” seketika suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, separuh tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, barangkali saja, tapi bila mengajak ? Jangan terlampau berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi mencari lengkungan pinggulnya yang estetis itu, membelai. Habis tak tahan.
“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku terdapat di balik dasternya, membelai mengikuti lengkungan samping pinggul.
“Too …. ” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.
“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku telah dekat dengan wajahnya.
Matanya lantas terpejam, mulut separuh terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, telah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
“Ehhmmmm” Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya mendekap punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya tersiar memburu. Aku bukan lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sampai-sampai tepat salah satu pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa anda cium, anda remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya sudah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Di samping besar, padat, dan kenyal, ternyata pun halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa membalas aku mengusung tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.
“Ke kamarmu saja”
Sebelum hingga ke dipanku, Tante mohon turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menyangga dadaku.
“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.
Kulepas semua kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada tersebut serasa inginkan meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menyangga sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
“Eehhmmmmmm” dengusnya
Dengan kendala ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan menerbitkan “isinya”
“Eehhh” Ia melepas ciuman, menyaksikan ke bawah.
“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
“Besar sekali”
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, tidak boleh sampai keluar. Aku hendak pengalaman baru, Tante. Ingin menginjak kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas tali kutangnya, namun yang belakang sulit dilepas. Tante membantu. Buah dada tersebut terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut tersebut terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku mesti bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik pun celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang tersebut ramping, perut tersebut rata, ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus tersebut menggemaskan, dijepit oleh sepasang paha yang hampir bulat. Seluruhnya dibungkus kulit yang putih dan mulusnya bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dimulai lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlampau ke bawah. Ah, dia ‘kan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku menghampiri tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja laksana kerbau dicucuk hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah kupikir masa-masa kesatu kali aku menyaksikan kelamin Tante sejumlah hari lalu, mana lumayan lubang sesempit tersebut menampung kelaminku yang lagi tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, menunjukkan penisku lagi, dan aku kini yang mendorong. Kepalanya telah separoh tenggelam, namun macet!
“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa terdapat sesuatu yang mengapit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat, kian sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik tidak banyak lagi, dan kudorong lagi.
“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too” Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekali…
Tak tahaaaaaann…
“Tahan dulu, To”
Tak mungkin, telah geli sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya hingga ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
“Genjot lagi, To” teriaknya
Mana bisa.
“Ayo, To”
Aku telah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
“Tooooo, ..”
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku telah selesai!
“Eeeeeeeeehh” keluhnya, kelihatannya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, kemudian sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa menit yang kemudian aku merasakan peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kesenangan yang luar biasa. Kenikmatan bersangkutan kelamin.
Nikmatnya sulit digambarkan.
Hubungan kelamin antara lelaki yang mulai memasuki dewasa dengan perempuan dewasa muda.
Sama-sama diharapkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, namun Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menciduk wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah pun menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kesenangan luar biasa sedangkan aku tak dapat memberi kepuasan untuk “lawan mainku”, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia hendak terus sedangkan aku telah selesai.
Aku bingung bagaimana menanggulangi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas menyaksikan plafon.
Aku mesti ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, sarat perasaan.
“Maafkan saya, Tante”
Tante menoleh, tersenyum dan balas menghirup pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
“Kamu engga perlu mohon maaf, To”
“Harus Tante, saya tadi nikmat sekali, kebalikannya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum empiris Tante. Baru kali ini saya mengerjakan itu”
“Betul ? Baru kesatu anda melakukan ?”
“Sungguh Tante”
“Engga apa-apa, To. Tante dapat mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya sebab belum biasa saja. Syukurlah bila kamu tadi dapat menikmati”
“Nikmaaat sekali, Tante”
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku laksana ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia anda berdua saja ya ? Tante mohon kamu tidak boleh katakan urusan ini pada siapapun”
“Tentu Tante, awalnya sayapun inginkan bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Gimana bila Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.
“Nanti apa ?”
“Akibat tindakan tadi, kemudian Tante ..”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“Engga usah anda pikirkan. Tante telah jaga-jaga”
“Saya engga memahami Tante”
“To, beda kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante mesti mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”
Ah, celaka. Sampai tak sempat waktu. Aku bangkit berkeinginan mencabut.
“Pelan-pelan To” katanya seraya menyeringai, kemudian matanya terpejam
“Eeeeeehhh” desahnya nyaris tak terdengar, saat aku menarik keluar kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada tersebut belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
“Tante ” aku memanggil saat ia sudah apik kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di sekitar kupingnya
“Terima kasih, Tante” kemudian kucium pipinya.
“Ya ” jawabnya singkat.
“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi seraya menggenggam penisku masa-masa bilang ‘niih’
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam ini kesatu kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran hingga “keterusan”. Pertama kali penisku menginjak kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.
Lebih istimewa lagi, perempuan itu ialah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunya…..
Padahal wanita tersebut sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih estetis dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita tersebut Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan empiris baru dari isterinya! Aku memperoleh kesenangan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang mengongkosi sekolahku, yang memberiku santap dan lokasi tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku kini jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru bila semua kekeliruan ditimpakan kepadaku.
Siapa yang mengajak memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja, mengapa pakai membelai ?
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih paling muda, tapi telah matang secara seksual, gampang terrangsang.
Tante sendiri, mengapa tidak menampik ? Bisa saja ia menempelengku saat aku mau menghirup bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menampik waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, dapat saja memberontak masa-masa ia merogoh celana dalamku, masa-masa ia menggenggam kelaminku dan ditunjukkan ke kelaminnya….
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku hendak mengulangi ……….!
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom masa-masa kami berbicara. Mungkin sebab ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada percakapan penting masa-masa makan.
Tante bangkit menuangkan minuman bikin Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang terdapat di depanku ini, yang kini tertutup rapat, telah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima latihan hari ini. Pikiranku ke lokasi tinggal terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku hendak lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia hendak lagi ? Aku meragukannya, menilik semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya tidak banyak lebih mesra kepadaku. Memangnya anda ini siapa.
Lebih baik begitu, lumrah saja, ‘kan terdapat suaminya.
Dua hari lantas ketika aku kembali sekolah, kulihat terdapat mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu bila aku ..
Ah, jangan beranggapan begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada evolusi apa-apa. Sikap Tante pun wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu menginginkan “dalam”-nya, meski pakaian Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku telah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku sungguh-sungguh tersiksa. Terlihat paha Tante yang tidak banyak tersingkap saja, aku langsung “naik”. Ooh..! Aku hendak lagiiiiii.
Siang ini aku santap sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom tentu ada di dalam, mobilnya ada. Tante pun tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap terdapat rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya anda siapa ?
Baru saja aku selesai mencicipi sendok terakhir makananku, lantas mengusung gelas, saat tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpukau oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi Tante”
Ia tutup pintu kamarnya kembali kemudian mendekatiku, dan tiba-tiba menghirup pipiku erat, lenganku menikmati lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak menggunakan kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum sebab kaget.
“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante telah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia pulang lagi, aku berdiri guna memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut seraya matanya melirik ke kamar. Aku memahami isyarat ini. Jangan ganggu, terdapat suaminya.
Sejam lantas kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bareng Tante. Oom Ton berpakaian apik berdasi, seperti berkeinginan ke kantor, sementara Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
“Tarto” Oom Ton memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom inginkan ke Bandung, dua hari. Kamu jaga lokasi tinggal ya ?”
Ini rupanya kabar gembira itu!
“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam tiga”
Dua hari Oom tak terdapat di rumah, pastinya dua malam juga. Dua malam aku mengawal rumah, bareng Tante.
Dua malam bareng Tante ? Bukan main!. Eit, jangan bercita-cita dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok anda yakin kabar gembiranya Tante ialah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok tentu ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya, Ma”
“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”
“Mama pun hati-hati di rumah”
Oom menghirup pipi Tante, kemudian menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya To”
“Ya, Oom”
Seisi lokasi tinggal mengantar Oom hingga depan pintu pagar, melambai hingga mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke lokasi tinggal kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh bercita-cita dan kepalaku sarat rencana.
Luki diangkut pengasuhnya ke lokasi tinggal sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak menggunakan kutang. Wah, telah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante tidak banyak kaget, kemudian berbalik menjawab pelukanku. Cuma sebentar, mencungkil diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di kepalaku dapat terlaksana malam ini.
Kami duduk bersebelahan di sofa, tidak banyak berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku telah tegang dari tadi. Sekarang baru jam separuh empat sore. Berapa jam lagi aku harus menantikan ? Oh, lama sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak mampu lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang terdapat di pahanya. Dengan begini aku dapat meremas-remas tangannya sambil menikmati lembutnya paha. Ia sesekali menjawab remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya guna membuka halaman kitab bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha tersebut masih laksana yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku kian berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai tersiar meningkat “volume”nya.
Diletakkannya kitab itu seraya menghela nafas panjang.
“To., anda engga sabaran, ya ?” katanya seraya memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan saya Tante, saya.. saya ..engga powerful lagi Tante, saya hendak lagi, Tante” Kataku terputus-putus menyangga birahi yang mendesak. Kelaminku pun mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante, saya menginginkan terus masing-masing ..hari” kataku separuh memohon. Aku yakin Tantepun sebetulnya telah terangsang, tampak dari nafasnya dan aku menikmati basah di celananya. Aku telah sampai pada titik yang tak barangkali surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi di samping berlanjut ?
“Saya mohon, Tante” sekarang aku sungguh-sungguh memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dibimbing ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada tersebut yang melulu ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga hari lalu, masa-masa aku kesatu kali meniduri Tante (memang baru kesatu kali aku bersangkutan sex), aku belum sempat merasakan buah dada ini. Waktu tersebut kami telah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu saat kutangnya telah terbuka, Tante telah keburu membimbing kelaminku memasukinya.
Sekaranglah peluang untuk merasakan dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada tersebut mengagumkan.
Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang laksana parit kecil salah satu dua bukit.
Halusnya buah tersebut dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke kiri, ke dada unsur atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus tersebut dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit tersebut haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku selesai di puncaknya. Kumasukkan putting tersebut kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.
Tangannya mengurangi kepalaku.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting tersebut mengeras. Puting satunya lagi pun mengeras, terasa salah satu telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada keserupaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi semua permukaan buah yang paling halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada tersebut demikian halus, sampai-sampai ada tidak banyak yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah unik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari dadanya, hendak memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante terdapat bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang masa-masa makan. Ini tentu “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting tersebut kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya seraya terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit pasti nanti berbekas, jelas empunya sahnya, Oom Ton, bakal curiga!
“Maafkan saya Tante, berakhir gemas sih.”
“Yahhh.engga apa-apa. Kamu mesti ingat, ini rahasia anda saja”
Dipegangnya dadanya sendiri kemudian disodorkannya ke mulutku. Gantian, kini dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya guna pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya telah semuanya terlepas, menyibak kesamping, bermukim celana dalamnya saja. Dada tersebut rasanya kian besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, namun ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, kemudian kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang tersebut keluar dengan gagahnya serupa di depan mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”
Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku seraya masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan jernih di sana. Kutindih tubuhnya kemudian kakinya mengapit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit tersebut terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dibimbing lagi. Aku telah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, kemudian kudorong hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”
Kepalanya telah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu dapat “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang urgen enak.
Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, hingga habis, hingga mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”
Nyaman, telah didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, unik dan mendorong. Mulut Tante menerbitkan bunyi-bunyian masing-masing aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau ucapan-ucapan yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari kemudian berulang. Baru sejumlah kali “tusuk” aku sudah menikmati geli luar biasa. Nampaknya aku tak dapat menahan lagi. Ah, mengapa begini ? Aku tak dapat tahan lama. Aku khawatir jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah nyaris tiba di puncak.
Aku jajaki berhenti bergerak seraya menahan supaya jangan sampai terbit dulu, persis bila aku menyangga kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh unsur tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan sukses menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, kian cepat malah. Ocehan Tantepun kian ngawur.
Aku jadi cepat, kian cepat dan semakin cepat, kemudian ……. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Tante berhenti berputar, lalu mengapit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan tidak sedikit sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku selesai. Selesai menggetar, berlalu mengejang, berlalu melepas, berlalu semuanya. Tanteku berlalu terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana Tante, saya engga dapat menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya melulu memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang sudahlah, anda lumayan tadi”
“Lumayan gimana Tante ?”
“Ada peradaban dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante hanya menghibur saya”
“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, namun kocokanmu tadi dapat Tante nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena anda belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama anda akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”
“Gimana metodenya supaya saya dapat lama, Tante ?’
“Nanti anda akan tahu sendiri”
“Ajarin saya ya, Tante”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante menyaksikan jam, pukul empat sore, kemudian bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu, ya ?”
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang beda kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya berpakaian. Aku serasa menolong isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante tidak boleh kapok, ya ? Tarto hendak kita terus begini”
“Oh, tersebut maksudmu. Asal kamu dapat jaga rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga mesti hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku
Malam tersebut aku nonton TV sendirian. Tante terdapat di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku menginginkan Tante bakal ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, kemudian ciuman, raba-raba, dan …diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi senja aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku hendak lagi! Aku hendak kenikmatan tersebut lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum pun muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini ialah malam kesatu Oom tak terdapat di rumah. Ayolah Tante, ini peluang yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, kemudian aku masuk ?
Ah jangan. Itu tidak cukup ajar, namanya.
Tubuh estetis itu sendirian di kamar.
Buah dada putih tersebut tak terdapat yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus tersebut tak terdapat yang memasukinya malam ini.
Kenapa anda tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, bila ia perlu tentunya bakal mendekatiku.
Jam 10, belum terdapat tanda-tanda.
Aku putuskan, malam ini memang Tante enggan diganggu. Biar sajalah. Toh kelak siang, sore, atau malam masih terdapat kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, kelak sajalah.
Tapi aku hendak malam ini!
Aku hendak malam ini kelaminku masuk dan lantas mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian aku menerbitkan penisku yang telah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.
Karena tidak terdapat Oom Ton, aku jadi kian berani menggoda Tanteku. Seperti masa-masa sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang tersingkap di meja makan. Bahkan menghirup pipinya.
“Hati-hati, To”
“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat suasana dulu”
“Mar terdapat di belakang” katanya.
“Tante”
“Ehm ?”
“Tarto sayang Tante”
“Aku udah terdapat yang punya, To” katanya seraya mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”
“Ya. Tante tahu, anda nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ inginkan terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung terdapat kesempatan. Sekarang pun saya mau” kataku nakal.
“Gila, anda To. Awas tidak boleh sampai mengganggu sekolahmu!”
“Habis Tante sungguh-sungguh menggemaskan” Aku ngaceng lagi!
“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”
“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”
“Lihat dulu nanti”
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang bakal kuperbuat nanti bareng Tante.
No comments:
Post a Comment