Dalam suratnya, Nasem mengisahkan pula tentang suasana Hamid (samaran, kawan kami pula) di Tewah. Katanya, ia pun kangen padaku. Yah, bahwasannya aku pun pun kangen pada mereka. Kami ialah tiga kawan karib, yang dulu tak terpisahkan. Lahir di dusun yang sama, tahun yang sama pula. Tak heran orang dusun menjuluki “Three Brothers”. Cuma bedanya, Nasem dan Hamid berhasil di kariernya. Kini Nasem menjadi Kepala Cabang Dealer Mobil/Motor di Minahasa dan Hamid menjadi saudagar antar pulau dan bermukim di Tewah. Sedang aku tidak. Tak tidak sedikit yang dapat dilakukan anak petani macam aku ini.
Sayangnya, sesudah 10 tahun menikahi gadis Minahasa, Nasem belum pun dikaruniai anak. Beda denganku yang mesti pontang-panting menghidupi isteri dan keempat anakku. Kalau saja Nasem tidak membantu, barangkali aku telah tidak sanggup. Itulah yang membuatku terharu. Meski telah makmur dan terpisah oleh lautan, mereka tetap memperhatikanku.
Kembali ke surat Nasem. Ada satu hal urgen yang disampaikannya, yaitu mohon bantuanku. Tanpa menyatakan apa yang dimaksudkannya. Aku juga bingung, apa yang dapat kuperbuat untuk menolong orang sekaya Nasem?
Dengan dana yang dikirimkannya, aku juga berangkat mengisi undangannya. Istriku mesti tinggal, untuk mengawal rumah dan anak-anak yang mesti sekolah. Kepadanya aku pamit guna waktu barang satu dua minggu.
Lalu, sesudah 5 hari 5 malam berlayar, aku pun hingga di tujuan. Di situ aku telah dijemput oleh Nasem dan istrinya. Begitu kapal bersandar, mataku menciduk sepasang tuan dan nyonya melambai-lambaikan tangan. “Nduutt.., Genduutt..!!” Teriak mereka. Nasem masih tetap memanggil dengan julukanku dan bukan namaku. Dulu semasa kecil, aku memang sangat gendut dibanding Nasem Dan Hamid.
Begitu turun dari kapal, kami saling berdekapan tanpa canggung. Kurasakan mereka memang rindu sekali padaku. Acara kangen-kangenan berlanjut hingga di rumah. Rumah Nasem besar, sedang dipugar dan serupa rumah pejabat. Apakah sebab hal ini ia memanggilku ke sini? Entahlah. Praktis seharian kami tak menyebut soal kedatanganku, sebab keasyikan saling berkisah sekitar kami berpisah.
Maka pada malam kedua itulah, sehabis santap malam, Nasem dengan istrinya Sari memanggilku ke ruang tamu. Mulailah mereka merundingkan soal “bantuan” itu.
“Kira-kira apa yang dapat kubantu, apakah menggarap rumahmu ini?” tanyaku.
Kulirik, Nasem menggelengkan kepala.
“Begini Ndut, anda kan tahu kami telah 10 tahun menikah, namun belum pun diberi momongan. Masalahnya, menurut keterangan dari dokter, aku ini memang mandul. Jadi kami sepakat untuk mohon tolong kamu. Itu sebabnya kami mengundangmu datang kemari,” tutur Nasem, panjang-lebar. Tapi aku masih bingung dengan ucapannya itu, sampai kuminta ia menyatakan lagi.
“Jelasnya, kami hendak sekali punya anak meski seorang. Tapi kutahu tentu dari dokter bahwa aku tidak dapat membuahi istriku sebab aku mandul. Maka kuminta bantuanmu guna menggantikan diriku supaya kami dapat punya anak,” tuturnya lagi dengan jelas.
“Hah.. apa? Aku mesti menggantikan dirimu supaya bisa menyerahkan anak kepadamu,” tanyaku, penasaran.
“Yah.. begitulah maksudku,” jawabnya, menciptakan aku makin tak mengerti.
“Lalu dengan teknik bagaimana aku menggantikanmu? Kamu kan tahu bahwa aku ini bukan ‘Deddy Coubuzier’ atau dukun. Apakah aku dapat melaksanakan permintaanmu tersebut Sem?” ucapku.
“Ah anda ini memang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu. Begini, anda ini memang bukan seorang dukun dan permintaanku ini tidak terdapat kaitannya dengan perdukunan. Yang kuminta ialah kesediaanmu menggantikan diriku sebagai suami dari istriku guna membuahi rahim istriku supaya kami dapat punya anak. Sudah? Jelas tidak?” ucap Nasem merinci, dan nampak agak kesal pun melihat kebodohanku.
“Oh begitu maksudmu. Tapi benarkah ucapanmu itu? Dan apakah Sari menyetujuinya?” tanyaku meyakinkan, sambil memberi pertimbangan supaya Nasem mengadopsi anak saja.
Berdasarkan keterangan dari mereka, semula memang berniat guna mengadopsi anak.
“Tapi sebaik-baiknya mengadopsi anak, masih lebih baik punya anak dari rahim istriku sendiri. Dan ini bila bisa.. ya kan sayang?” ucap Nasem.
“Ya Mas Ndut, kami telah berunding sebelumnya. Dan demi kemauan kami, aku rela memberikan tubuhku guna dibuahi Mas Ndut..” ucap Sari pelan.
Kini aku paham maksud mereka. Tapi aku tak segera menjawab, seketika terpampang buah simalakama di mataku. Bila kuterima, ah.. tersebut berarti aku mesti melanggar pagar ayu. Apalagi ini istri kawan sendiri. Dan bila kutolak, Nasem tentu kecewa. Itu yang kesatu. Yang kedua, aku terlanjur datang jauh-jauh dari Jawa. Dan ketiga menilik budi dan jasanya yang kuterima sekitar ini, kapan lagi aku dapat membalasnya.
“Yah.. bagaimana ini ya. Sem, kuterima atau tidak permintaanmu ini?” kataku.
“Sudahlah Ndut, kuharap kamu mau membantuku. Nggak usah risau, kami juga tak terdapat perasaan apa-apa atas bantuanmu,” ucap Nasem meyakinkan.
Aku juga tanpa sadar berucap, “Yah baiklah. Tapi bagaimana nanti bila gagal?” tanyaku.
“Seandainya gagal, tersebut bukan kesalahanmu. Nanti kami bakal senantiasa berdoa semoga kemauan kami ini dikabulkan,” ucap Nasem dengan arif.
Selanjutnya dengan kesepakatan dan restu bersama, aku diminta untuk mengawali malam tersebut juga. Begitu mendengar kesediaanku mereka permisi berkeinginan mempersiapkan kamar tengah. Nasem sendiri nampaknya pindah ke kamar depan. Bantal dan perangkat tidur lainnya dibawanya ke depan.
Tepat pukul 22:00 WITA, aku dipersilakan Sari masuk ke kamar tengah yang telah bersih, estetis dan harum. Terasa berat kakiku melangkah, sampai Nasem dan Sari membimbingku masuk. Habis itu, Nasem juga keluar, meninggalkan aku dan Sari berdua di kamar.
“Sari, apakah anda yakin aku akan bisa memberi anak nantinya..?” tanyaku.
“Mas Ndut, secara individu aku yakin kamu akan bisa memberi anak untukku nantinya.” ucapnya manja.
“Aku tidak tega tubuhku yang kotor ini nantinya bakal ‘mengobok-obok’ tubuhmu yang mulus itu.”
“Mas Ndut, aku kan telah bilang ini demi kemauan kami berdua. Jadi tubuhku yang mulus ini kuserahkan padamu Mas. Ayo dekatlah kemari Mas Ndut. Tak usah malu-malu, aku siap bertempur Mas..” ucapnya lagi sambil unik tanganku ke pembaringan.
Sayup-sayup kudengar pintu jendela depan diblokir dan dikunci.
“Lho siapa yang memblokir pintu dan jendela di luar sana tersebut Sar?” tanyaku, sembari duduk di bibir ranjang.
“Oh tersebut pasti Mas Nasem sendiri kok Mas Ndut,” jawabnya, seraya menyatakan bahwa 2 pembantunya darurat dipulangkan supaya rencana ini berlangsung mulus.
“Oh begitu!” ucapku.
“Mas Ndut aku telah nggak tahan nich?” ucapnya seraya membuka semua pakaian yang melekat di tubuhnya yang mulus itu. Tubuhnya yang mulus dengan susunya yang begitu montok dan vaginanya yang menantang. Panas dingin aku memandangnya. Lutut ini gemetar dan tubuhku meriang bak kena setrum listrik 1000 watt. Aku yang biasa menyaksikan istriku bugil, sekarang jadi lain.
Di lokasi tinggal aku biasa istirahat dengan beralaskan tikar. Kini aku berhadapan dengan ranjang mewah beraroma wangi, plus tubuh mulus tergolek di atasnya. Tapi badanku terus menggigil laksana terjangkit malaria berat. Eh, Sari tiba-tiba bangun menghampiriku dan mencungkil seluruh pakaianku yang semenjak tadi belum kubuka. Aku hanya terbengong-bengong saja. Lalu..
“Sekarang.. jajaki Mas Ndut berbaring..” ucapnya seraya mendorong tubuh telanjangku. Aku menurut keterangan dari saja. Penisku segera menegang saat merasakan tangan lembut Sari mulai beraksi.
“Wah.. wahh.. besar sekali penismu, Mas Ndut.” tangan Sari segera mengusap-usap penis yang sudah mengeras tersebut. Segera saja penisku yang telah berdenyut-denyut tersebut masuk ke mulut Sari. Ia segera menjilati penisku tersebut dengan sarat semangat. Kepala penisku dihisapnya keras-keras, sampai membuatku mengerang keenakan.
“Ahh.. ahh.. ohh..” aku tanpa sadar merintih menikmati nikmat sesaat. Menyadari keringatku yang mengucur dengan deras sehingga memunculkan bau badanku yang tidak cukup sedap, buru-buru aku mendorong kepala Sari yang masih mengulum penisku tersebut untuk pamit inginkan mandi dulu. Lalu, kuguyur badanku dengan segala macam sabun dan parfum yang terdapat di situ kugosokkan supaya badanku harum.
Tiga kran yang terdapat di situ kubuka seluruh dan kurasakan mana yang berbau sedap, kupakai guna menyegarkan badan. Bukankah sebentar lagi aku harus melayani sang putri bak bidadari?! Mungkin telah terlalu lama aku di kamar mandi, tersiar Sari mengetuknya. Begitu pintu kubuka, ah. Sari berdiri dengan tubuh montoknya. Ohh.. Seandainya yang pamer aurat di depanku tersebut istriku aku tak bakal menanti lama-lama tentu langsung kudekap dia. Tapi dia ialah istri sahabatku.”Malaria”-ku yang sempat sembuh masa-masa mandi tadi, sekarang kumat lagi. Cepat-cepat aku masuk lagi dan menguncinya. Di dalam kamar mandi aku bimbang bagaimana usahakan, kulaksanakan atau kubatalkan saja?
Akhirnya malam tersebut terpaksa gagal. Hingga pukul lima pagi aku masih belum berani melakukannya. Melihat Sari bak bidadari turun dari kahyangan, memang membuatku tergiur. Tapi saat berhadapan dengannya nyaliku jadi ciut.
Esoknya rupanya Sari melapor pada suaminya. Dan aku ditegur Nasem.
“Ndut, mengapa tidak anda laksanakan? Bukankah telah kami katakan.” ucapnya.
Aku hanya diam saja. Agar tidak kecewa lagi, malam ini tekadku bakal kulipatgandakan guna melakukannya.
Pukul 22.00 WITA, Nasem meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Sejurus kemudian, “Ayo Mas Ndut kita istirahat yuk,” ucap Sari manja sembari meraih tanganku dan ditariknya ke kamar. Setelah mengunci pintu kamar, dia menyuruhku duduk di ambang ranjang dan jari-jarinya yang lentik mulai memijat pundakku. Aneh, sesudah dipijat aku menjadi lebih rileks. Dia sorongkan wajahnya dekat sekali dengan wajahku dan tiba-tiba bibir kami telah merapat dan saling menghisap. Lama pun kami berciuman dan pun saling memilin lidah sedangkan tangan kami saling mengelus dan mengusap.
Kami masih duduk berhadapan. Lalu Sarilah yang mulai membuka seluruh pakaianku. Dia kecup leherku turun ke bawah ke dada dan ke puting dadaku. Sampai disini, dia menjulurkan lidahnya dan putingku dijilat-jilat. penisku langsung menegang, paling keras dan semakin keras sebab diremas-remas olehnya.
Singkat kata, kami pun telah bertelanjang bulat dan aku juga segera menindih badannya yang kenyal dan padat. Karena ada saldo kegugupan, maka aku langsung jajaki memasukkan penisku ke dalam vaginanya.
“Tunggu, pelan-pelan saja Mas Ndut,” bisiknya sambil membelai kepala kemaluanku di depan lubangnya. Pelan-pelan sekali. Lalu tugasnya kuambil alih dan kulanjutkan menyentuh dan menggosokkan kepala penisku itu. Pelan dan pelan sekali. Terasa olehku lubangnya semakin basah dan licin. Tiba-tiba.. “Slepp..” masuklah penisku ke dalam sangkarnya.
Aku mulai menggenjot perlahan-lahan. Naik turun, naik turun. Sementara tersebut bibir kami berdua tetap bertaut. Saling kecup, saling hisap. Tangan Sari mengusap-usap punggungku terkadang turun ke bawah ke pantat dan jarinya mempermainkan lubang pantatku, geli campur enak. Tanganku sibuk membelai kepalanya dan rambutnya. Semua kami kerjakan dengan pelan dan lembut.
Setiap aku nyaris sampai ke puncak, Sari tidak jarang kali memelukku erat-erat sampai-sampai aku tidak dapat bergerak. Tepatnya, kami berdua diam tak bergerak seraya saling peluk dan penisku tertanam dalam di kemaluannya. Setelah agak reda pulang aku memompa naik turun.
Selang sejumlah saat, Sari ganti di atas. Rupanya dia amat menyukai posisi ini. Ganti kini dia yang mendekap dan menciumiku sedangkan pantatnya bergoyang dan berputar dengan penisku tertancap di dalam kemaluannya. Semakin lama semakin semangat. Sampai kesudahannya ia juga mengejang dan mulutnya berdesis-desis dan kepalanya bergoyang-goyang binal ke kiri dan ke kanan, kupeluk dia dan kutekan pantatnya sampai-sampai sampailah ia pada puncak kepuasannya. Lemaslah tubuh Sari dan dia menciumi semua wajahku seraya mengucapkan, “Terima kasih ya Mas? Mas telah mengerjakan tugas dengan baik.. aku sungguh tidak menduga Mas dapat membuatku melayang hingga ke langit yang ke-tujuh.. (ucapnya seraya mengecup bibirku, terus tangannya memegang penisku yang menurut keterangan dari dia jauh lebih banyak dan panjang dari punya Nasem)”.
Selesai tugasku maka aku pun mengembalikan badannya dan ganti aku di atas. Kuangkat kedua kakinya dan kubelitkan di kedua pahaku kemudian kumasukkan penisku dan kukocok perlahan-perlahan untuk kian lama kian cepat dan kesudahannya menyemburlah air maniku ke dalam lubang vagina Sari. Sari mendekap tubuhku erat-erat dan kami juga berciuman lama. Sempat selama sepuluh menit kami diam tak bergerak dalam posisi aku di atas badannya dan tubuh kami tetap jadi satu estafet dari bawah.
Tak terasa ‘pekerjaan’ yang kulaksanakan ini sudah memasuki malam ke dua belas.
“Mas Ndut, sebetulnya menurut keterangan dari perhitungan saya, haid saya telah lewat 7 hari yang lalu,” kata Sari pada sebuah malam sesudah kami kelelahan. Tapi Nasem masih belum yakin istrinya hamil. Aku dimintanya ‘bersabar’ barang sepuluh hari atau dua minggu lagi. Bersamaan dengan tersebut ia mengantarkan uang melakukan pembelian barang untuk istriku dan anak-anakku.
Hingga pada sebuah hari, terhitung nyaris sebulan aku di sana. Nasem membawa istrinya ke dokter berpengalaman kandungan. Tak berapa lama mereka pun kembali dengan wajah yang cerah. Berhasil!
“Oh Ndut, istriku hamil!” katanya gembira.
Kiranya ‘pekerjaanku’ tak sia-sia. Kusarankan pada mereka untuk mengawal kandungan Sari, sampai kelak si jabang bayi lahir. Aku sendiri telah kangen pada keluargaku di kampung. Maklum nyaris sebulan aku meninggalkan mereka. Tapi aku berjanji untuk Nasem mau diundang lagi sekiranya hasilnya gagal. Nasem juga tak keberatan melepaskanku pulang. Kebetulan dua hari lagi terdapat kapal berangkat ke Surabaya. Sorenya mereka melakukan pembelian barang oleh-oleh guna keluargaku di rumah. Aduh bukan main senangnya hati mereka. Setelah tersebut aku juga berangkat naik kapal kembali ke kampung.
Singkat cerita, sesampainya di lokasi tinggal kukatakan pada istriku bahwa aku diminta menuntaskan bangunan rumahnya. Dan istriku percaya saja. Tapi dalam hati, aku merasa berdosa kepadanya. Delapan bulan lantas aku menerima surat dari Nasem bahwa ‘anaknya’ sudah lahir, wanita, cantik lagi, dan diberinya nama Ratih. “Ah syukurlah,” gumamku.
Begitulah yang terjadi. Rahasia ini masih kusimpan demi ketenangan keluargaku. Tapi satu urusan yang mustahil kupungkiri, bahwa darah dagingku juga terpisah di sana. Disatu sisi aku bangga bisa membahagiakan sahabatku dan menjawab budinya. Tapi disisi beda soal dampak dosanya, kuserahkan untuk Yang Di Atas. Aku melulu dapat berucap minta ampun pada-Nya.
No comments:
Post a Comment