Rumah aku sedang tahap renovasi, aku dan ibuku sementara tinggal di bangunan kecil sambil menunggu bangunan rumah jadi, bengkel ayahku tidak jauh dari rumah, ayahku tidak mau menginap bersama di rumah orang karena alasan pribadinya,
Setelah banyak process yang dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya. Ayah pernah memohon kepada ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded person’.
Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan. Kini bengkel ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik. Pelanggan ayah makin bertambah, dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya.
Ayah tidak memecat pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama. Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar-benar berubah 180 derajat.
Salah satu temannya bernama tante Mira. Tante Mira saat itu hanya 15 tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas aku panggil kakak daripada tante, karena wajahnya yang masih terlihat seperti orang berumur 20 tahunan.
Tanti Mira adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik ibu. Wajah tante Mira tergolong cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main.
Maklum anak orang kaya yang suka tandang ke salon kecantikan. Tante Mira sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu berjam-jam. Tidak jarang tante Mira keluar bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall. Aku pernah sempat bertanya tentang kehidupan pribadi tante Mira.
Ibu bercerita bahwa tante Mira itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Mira sempat ingin menikah, tapi ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti ini. Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari rumah.
Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan pembantu saja yang tinggal di rumah. Saat itu aku ingin sekali kabur dari rumah, dan menginap di rumah teman.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang ketinggalan.
Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu, suara tante Mira menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya. “Bernas kok ngga ikut papa mama ke Bandung?” tanya tante Mira.
“Kalo ke Bandung sih Bernas malas, tante. Kalo ke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai. “Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore. Tante ada apartment di sana” tungkas tante Mira. Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh.
Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo penting.”. “Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih.
Bernas mau ngga temenin tante?”. “Emang tante mau makan di mana?” “Tante sih mikir Pizza Hut.” “Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan apa?” “Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.” “Oke deh. Mau cabut jam berapa?” “Entaran aja tante. Bernas masih belon laper. Jam 7 aja berangkat.
Tante duduk aja dulu.” Kami berdua nonton bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Mira mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya memakai baju berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira-kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya).
Kaki tante Mira putih mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel seadanya saja sambil menunggu sampai jam 7 malam.
Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante Mira suka bertanya tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan tentang kehidupan cintaku di sekolah. Aku mengatakan kepada tante Mira bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo naksir sih ada, cuma aku tidak sampai mengganggap terlalu serius.
Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh tante Mira semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dia pakai mulai tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran apa-apa saat itu. Tiba-tiba tante Mira berkata,“Bernas, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”. “Huh? Mana enak?” tanyaku. “Mau tante kitik kuping Bernas?” tante Mira menawarkan/ “Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi. “Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Mira. “Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Bernas. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Mira. “Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya. Seperti sapi dicucuk hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante Mira.
Ternyata memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.
“Bernas, bangun yuk. Tante dah laper nih.” kata tante. “Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka. “Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.” “Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.” “Oke oke, kasih Bernas lima menit lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.” Sambil malas-malasan aku bangun dari sofa. Kulihat tante Mira sedang membenarkan posisi roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Mira tersingkap tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Mira, begitulah aku berpikir.
Ada rasa senang juga di dalam hati. Setelah mencuci muka, ganti pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil tante dong.” “Ogah ah, Bernas cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Mira membawa sedan Honda, bukan Mercedes-nya. “Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Mira. “No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Mira sambil tertawa kemenangan. Mobil melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta. Tante Mira seperti bebek saja, ngga pernah stop ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan tunangannya.
Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Mira tidak protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia. Setelah makan, kita mampir ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Mira mengajakku mampir ke rumahnya.
Tante Mira tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Mira sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari tante Mira, yang tante Mira tidak pernah merasa kekurangan materi. Apartemen tante Mira lumayan bagus dengan tata interior yang classic.
Di sana tidak ada siapa-siapa yang tinggal di sana selain tante Mira. Jadi aku bisa maklum apabila tante Mira sering keluar rumah. Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di apartemen. “Anggap rumah sendiri Bernas. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.” “Kalo begitu, Bernas mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.” cegah tante Mira. “Tapi Bernas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri. “Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”. Tiba-tiba suara tante Mira menghilang dibalik master bedroomnya.
Aku menganalisa ruangan sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding. Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang murahan. “Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Mira memecahkan suasana hening sebelumnya. “Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal. Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.” Aku masih menyibukkan diri mengamati lukisan-lukisan yang ada, dan tante Mira tidak bosan menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut.
Tante Mira ternyata memiliki kecintaan tinggi terhadap seni lukis. “Ok deh. Kalo begitu Bernas mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu yah.” kataku. “Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.
Aku juga merasa kasihan dengan keadaan tante Mira yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Mira sudah ingin tidur. “Kita main UNO yuk?!” ajak tante Mira. “Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran. “Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Mira.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Mira. Aku hanya memasang tampak cemburut canda. Tante Mira masuk ke kamarnya lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama minuman. Tante Mira membawa kacang mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on rock (pake es batu). Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kamipun mulai bermain-main santai sambil makan kacang mente.
Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum sendirian. Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas. Melihat kejadian ini, tante Mira menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa aku bukan bakat peminum.
Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1 gelas Hennessy sendirian. “Tante, anterin Bernas pulang yah. Kepala ogut rada berat.” “Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Mira. Aku merasa tante Mira berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Mira minta, aku selalu menyetujuinya.
Melihat tingkahku yang suka menurut, tante Mira mulai terlihat lebih berMira lagi. Dia mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat. Tapi permainan kartu ini menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Mira ralat menjadi ‘Truth & Dare’ game.
Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante Mira sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’ punishment, lama-lama aku menjadi semakin berMira menanyakan yang bukan-bukan. Sebaliknya dengan tante Mira, dia lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa mengerjaiku.
Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya buat tante Mira menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku terlihat lurus-lurus saja menurutnya. Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya.
Aku pun juga heran kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai pertanyaan yang menjurus ke seks seperti misalnya kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan. Semuanya tanpa ragu-ragu tante Mira jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan.
Kini permainan kami semakin wild Tante Mira mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul tante Mira. “Yee, tante menang lagi.
Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Mira dengan senyum kemenangan. “Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku. Selang beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Mira kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang aku kenakan. “Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang.
Ayo lepas lepas …” candaku sambil tertawa gembira. “Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya. Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Mira bugil juga. Aku pengen sekali menang terus. “Full house … yeahhh … kalah lagi tante.
Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira. Terlihat tante Mira melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”. “Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh.
Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela. Aku rada gondok mendengar pembelaan tante Mira. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi. “Straight … Bernas … One Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Mira girang.
Aku pun segera melepas jaket aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku dalam hati. “Bernas Three kind … tante … one pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum. Dan tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya.
Aku serentak menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Bernas junior dengan serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya. “Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil tersenyum malu.
“Yes Full House, kali ini tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Mira girang banget bisa dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada. “Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Mira sambil tersenyum. Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Mira kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah terlanjang.
Tak lama kemudian tante Mira membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh. “Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Mira. Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami. “Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi.
Tanpa disuruh, tante Mira melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Mira hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku sempat berpikir apakah tante Mira mencukur semua bulu-bulu pubisnya. Muka Cerita Hot Gairah Tante Mira Cerita Dewasa Pemerkosaan Tante Girang Cerita Nakal Tujuh Belas Plus Anal Sex tante Mira sedikit memerah. Kulihat tante Mira sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu.
Aku hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante Mira. “Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku. Tante Mira kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Bernas tahan napas yah.
Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Mira melepaskan BH-nya dan serentak jatungku ingin copot. Benar apa kata tante Mira, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat payudara wMirata dewasa secara jelas di depan mata.
Payudara tante Mira sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang. “Aih Bernas, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Mira. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’. “Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih. Dasar genit kamu.” tambah tante Mira lagi.
Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu. Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba.
Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Mira meminta aku melepas celana yang aku kenakan. Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Mira hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak tawaran tante Mira untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi.
Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya. Babak penentuan apakah tante Mira akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan berpihak kepadaku. Ternyata harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Mira. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Mira. Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Mira mencegahnya. “Tunggu Bernas.
Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini” kata tante Mira. Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Mira terdiam sejenak kemudian tersenyum genit. Senyum genitnya ini lebih menantang daripada yang sebelum-sebelumnya. “Tante dare Bernas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Mira.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku. “Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Mira. “Bukan karena itu. Tapi … Bernas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu. “Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Mira. Tanpa berpikir ulang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Mira.
Tante Mira kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Mira. Tante Mira diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante Mira. Bau wine merah sempat tercium di hidungku.
Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Mira. Maklum ini baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Mira. Tante Mira dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku.
Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Mira, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang pula di dalam mulut tante Mira. Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku panas dibuatnya.
Tante Mira seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante Mira pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia tersangsang. “Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Mira. Aku pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman. Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya.
Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya. Tante Mira menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar Bernas bosan ama tante.” candanya. “Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku. “Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Mira kemudian terputus. Kalimat tante Mira ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting.
Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Mira malam itu. Aku semakin berMira dan menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Mira sengaja untuk mengalah dalam bermain poker malam itu. Terang aja aku menang lagi kali ini. Aku sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku sangat memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.
“Bernas menang lagi tuh. Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Mira sambil menggoda. “Hmm … apa yah.” pikirku sejenak. “Gini aja, Bernas pengen emut-emut susu tante Mira.” jawabku tidak tau malu. Ternyata wajah tante Mira tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Bernas.”. “Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran.
Tante Mira hanya mengangguk pertanda setuju. Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante Mira. Bau parfum harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Mira dengan lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Mira, memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara tante Mira.
AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya. Kuluman yang tante Mira dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap tubuh tante Mira. Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Mira perlahan-lahan semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya.
Kini aku bisa memastikan bahwa tante Mira saat ini sedang terangsang atau istilah modern-nya ‘horny’. “Bernasss … kamu nakal banget sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Mira dengan nada terputus-putus. Aku tidak mengubris kata-kata tante Mira, tapi malah semakin bersemangat memainkan kedua puting susunya.
Tante Mira tidak memberikan perlawanan sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya. Aku mencoba mendorong tubuh tante Mira perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet. Ternyata tante Mira tidak menahan/menolak, bahkan tante Mira hanya pasrah saja.
Setelah tubuhnya terbaring di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante Mira. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Mira, dan oh my, wangi betul leher tante Mira. Tante Mira memejamkan kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya, memberikan sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya.
Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa yang harus aku lakukan, padahal ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi suasana seperti ini. Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di atas bibir tante Mira, dan kami kembali berciuman mesra sambil berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Mira.
Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala belakang tante Mira, sedangkan tangan kananku meremas-remas payudara kiri tante Mira. Tubuh tante Mira seperti cacing kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman denganku. Tanpa diberi komando, tante Mira tiba-tiba melepas celana dalamnya sendiri.
Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Mira memberikan instinct bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya. Aku ingin sekali melihat kemaluan tante Mira saat itu, namun tante Mira tiba-tiba menarik tangan kananku untuk mendarat di kemaluannya. “Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/memek tante Mira mulus sekali.
Ternyata semua bulu jembut tante Mira dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya. Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante Mira berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam.
Kini memek tante Mira mulai basah dan licin. “Bernasss … kamu yah … aaahhhh … kok berMira ama tante?” tanya tante Mira terengah-engah. “Kan tante yang suruh tangan Bernas ke sini?” jawabku. “Masa sihhh … tante lupa … aahhh Bernasss … Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Mira lagi. “Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Mira.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Mira mulai serak-serak basah. Aku tetap memainkan itil tante Mira, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante Mira menjerit kencang seakaan-akan terjadi gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Mira bukan tipe wMirata yang suka merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Mira tidak sakit buatku.
“Bernasss … tante datangggg uhhh oohhh …” erang tante Mira. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu. Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu, tubuh tante Mira lemas dan nafasnya terengah-engah. Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel.
Aku sudah lupa sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Mira, tapi sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Mira. Keragu-raguanku ini terbaca oleh tante Mira. Dengan lembutnya tante Mira berkata, “Bernas, kalo pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh liat ****** Bernas dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah panas.”. Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh tante.
Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang penisku ke mulut vagina tante Mira, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan. Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Mira. Selain mungkin karena basahnya dinding-dinding memek tante Mira yang memuluskan jalan masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah masuk di dalam sana. “Uhhh … ohhh … Bernasss … ahhh …” desah tante Mira.
Aku coba mengocok-kocok memek tante Mira dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Mira terlihat semakin ‘horny’, dan mendesah tak karuan. “Bernasss … Bernasss … aduhhh Bernasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Mira.
Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Mira, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Mira, sehingga aku berhenti sejenak. “Bernasss … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Mira. “Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi … ” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam. Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Mira. “Beres tante.” jawabku. “Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Mira genit.
Tanpa menunda banyak waktu lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Mira semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di sekitar bulu jembutku. Aku mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan telingaku panas. Tante Mira pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin terdengar panas saja di telingaku.
Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan tante Mira 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku semakin mendekat saja. “Bernasss … ampunnn Bernasss … kontolnya kok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi … tante geliii banget nihhh …” kata tante Mira. “Tante … Bernasss dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku. Puting tante Mira semakin terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah tante Mira, dan bibir kami saling berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas tubuh tante Mira. Aku percepat kocokan penisku di dalam memek tante Mira.
Tante Mira sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan saja. “Bernasss … tante datangggg … uhhh … ahhhhhh …” jerit tante Mira sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda tante Mira telah ‘orgasme’. Aku pun juga sama, lahar panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar. Aku masih ingat pesan tante Mira agar spermaku dilepas keluar dari memek tante Mira.
“Tante … Bernassss datangggg …” jeritku Mirak. Kutarik penisku dari dalam memek tante Mira, dan penisku memuncratkan spermanya di perut tante Mira. Saking kencangnya, semburan spermaku sampai di dada dan leher tante Mira.
“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan kepuasanku. “Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Mira. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat mengomentari candaan tante Mira. Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Mira. Kepalaku masih teriang-iang dan nafasku masih belum stabil.
Mataku melihat ke langit-langit apartment tante Mira. Aku baru saja menikmati yang namanya surga dunia. Tante Mira kemudian memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku tercium oleh hidungku. “Bernas puas ngga?” tanya tante Mira. “Bukan puas lagi tante … tapi Bernas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante Mira. “Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri. “Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran. “Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Bernas?” tanya tante Mira manja. “Anuu … Bernas kasih si Bernas Junior … tuh tante liat jembut Bernas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Mira sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo. “Bernas sering-sering datang ke rumah tante aja. Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante Mira. “Sippp tante.” jawabku serentak girang. Malam itu aku nginap di rumah tante Mira. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah.
Aku sempat minta jatah 1 kali lagi dengan tante Mira, namum ajakanku ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya. Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap tante Mira tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan ibu. Tante Mira senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang bervariasi pula selain apartementnya sendiri.
Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku (ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai di sana). Tante Mira sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Mira seks dapat membuatnya merasa enak secara jasmMira dan rohMira, belum lagi seks yang teratur sangatlah baik untuk kesehatan.
Dia pernah menceritakan kepadaku tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur. Tante Mira paling suka ‘bermain’ tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi.
Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Mira lupa menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan berejakulasi di luar (meskipun ini rawan kehamilannya tinggi juga). Hubungan gelap ini sempat berjalan hampir 4 tahun lamanya.
Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap tante Mira. Maklum aku masih tergolong remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi. Namun tante Mira menolaknya dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Mira bertambah serius, banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami. Tante Mira sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah hati waktu itu (hampir 1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit hatiku.
Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Mira. Saat ini aku masih berhubungan baik dengan tante Mira. Kami kadang-kadang menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Mira sampai sekarang masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single.
Aku putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan pacarku, tante Mira sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Mira, namun tante Mira seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan mencari seorang pelarian.
Jadi tante Mira tidak pernah merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin membantu meringkankan beban perasaan temannya.
No comments:
Post a Comment