Berdiri di depan pintu rumahku, menantu permpuanku, Mirna, mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik,
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.” Dia memberiku suatu kecupan enteng di pipi, dan berbalik lalu
berjalan menyusul suami dan anaknya yang tela h lebih dulu mengarah ke ke mobil. Yoyok menanam bayinya
pada dudukan bayi itu, dan laksana biasanya, dia terlampau jauh guna mendengar apa yang dibisikkan
istrinya tercintanya terhadap Ayah kandungnya.
Mirna melenggang di jalan kecil depan lokasi tinggal dengan riangnya laksana seorang gadis remaja yang menggoda.
Yoyok tak memahami ini juga, ini semua dilaksanakan istrinya melulu untukku…
Mungkin kalian seluruh mengira aku terlampau mengada-ada soal ini, namun kenyataannya apa yang Mirna lakukan
ini tidak melulu sekali ini saja. Dan semenjak aku tak terlampau terkejut lagi, aku merasa terdapat sesuatu yang
hilang andai dia tidak melakukannya saat berangjangsana ke rumahku.Aku merasa terdapat getaran pada penisku, dan
sebagai seorang laki-lakii biasa yang masih normal, benak ‘andaikan… yang lumrah menurutku tidak jarang kali hadir
di benakku.
Mirna ialah seorang perempuan yang bertubuh mungil, namun meskipun begitu ukuran tubuhnya itu tak
mampu menutupi pesona seksualnya. Sosoknya tampak tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai
rambut hitam pekat yang dicukur sebahu, dia tidak jarang mengikatnya dengan bandana. Dia mempunyai energi dan
keuletan yang sepengetahuanku tak dipunyai orang lain. Sebuah keindahan nan elok bila ingin
mendiskripsikannya. Dia tidak jarang kali sibuk, tidak jarang kali terlihat seakan diburu waktu namun tetap tidak jarang kali terlihat
manis. Dia masuk dalam kehidupan family kami semenjak dua tahun lalu, namun dengan cepat telah terlihat
sebagai anggota family kami sekian lamanya.
Yoyok bertemu dengan mirna ketika masih kuliah di tahun kesatu. Mirna baru saja lulus SMU, meregistrasi di
kampus yang sama dan ikut pekerjaan orientasi mahasiswa baru. Kebetulan Yoyok yang bertugas sebagai
pengawas dalam kelompoknya Mirna. Seperti yang tidak jarang mereka bilang, cinta pada pandangan kesatu.
Mereka menikah di umur yang terbilang paling muda, Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun. Setahun kemudian
bayi kesatu mereka lahir. Aku ingat waktu tersebut kebahagian terasa paling menyelimuti family kami.
Suasana saat tersebut semakin menciptakan kami dekat. Mirna memiliki selera humor yang paling bagus, selalu
tersenyum riang, dan pun menyukai bola. Dia tidak jarang terlihat berkelakar dengan Yoyok, mereka benar-benar
pasangan serasi. Dia tidak jarang kali memberi motivasi pada Yoyok yang memang membutuhkan hal itu.
Yoyok dan Mirna sering berangjangsana kemari, membawa serta bayi meraka. Mereka sudah mengontrak rumah
sendiri, meskipun tak terlampau besar. Aku pikir mereka merasa bila aku memerlukan seorang teman, karena
aku seorang pria tua yang bakal merasa kesepian andai mereka tak tidak jarang berkunjung. Disamping itu, aku
memang sendirian di lokasi tinggal tuaku yang besar, dan aku yakin mereka suka bila berada disini, dibandingkan
rumah kontrakannya yang sempit.
Ibunya Yoyok sudah meninggal sebab kanker sebelum Mirna masuk dalam kehidupan kami. Sebenarnya, tanpa
mereka, aku benar-benar bakal jadi orang tua yang kesepian. Aku masih sangat memimpikan isteriku, dan
bila aku terlampau meratapi itu, aku pikir, kesepian tersebut akan memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan
serta trafik mereka, sudah menyibukkanku. Terlalu sibuk untuk sebatas patah hati, dan terlampau sibuk
untuk menggali wanita untuk memenuhi sisa hidupku lagi. Aku tak terlampau memusingkan kerinduanku pada sosok
wanita. Tak terlalu.
Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan family kami. Kami paling menyayanginya. Dan kehidupan
terus berjalan, Yoyok melanjutkan pendidikannya guna gelar MBA, dan Mirna bekerja sebagai Teller di
sebuah Bank swasta.
Kunjungan mereka padaku tak berubah sedikitpun, hanya bedanya kini mereka sering membawa beberapa
bingkisan juga. Tentu saja, diasamping tersebut juga perangkat bayi, sejumlah popok, mainan dan makanan
bayi.
Beberapa bulan kemudian Mirna dan bayi mereka datang ketika Yoyok masih di kelasnya. Dia duduk disana
menggendong bayinya di lengannya. Dia sedang berjuang untuk menidurkan bayinya. Aku tak tahu caranya,
tapi pemandangan tersebut entah bagaimana sudah menggelitik kehidupan seksualku.
“Ngomong-omong… kapan Ayah bakal segera menikah lagi?” dia bertanya dengan getaran pada suaranya.
“Aku tak tahu. Aku sepertinya belum terlalu memerlukan kehadiran seorang wanita
dalam hidupku.
Lagipula, aku sudah mempunyai kalian yang menemaniku.”
“Aku tidak bicara mengenai teman. Aku sedang bicara soal seks.” matanya mengedip kearahku ketika dia
bicara.
“Apa?”“Ayah tahu, seks.” dia nyaris saja tertawa sekarang.
“Ketika seorang pria dan wanita telah telanjang dan memainkan bagiannya masin-masing?”
“Ya, aku tahu seks,” aku membela diri.
“Lagipula anda pikir darimana suamimu berasal?”
“Yah, aku melulu khawatir bila Ayah telah melupakannya. Maksudku, apa Ayah tak memimpikan hal itu?”
“Terima kasih atas perhatianmu, namun aku telah terlalu tua guna hal laksana itu.”
“Hei! Lelaki tak pernah jenuh dengan urusan itu. Setidaknya begitulah dengan putramu.”
“Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia memiliki seorang istri yang cantik.”
“Terima kasih, namun aku masih tetap memandang Ayah membutuhkannya,” dia menekankan suaranya pada kata
‘Ayah’.
“Terima kasih telah ngobrol,” kataku, masih tersiar sengit.Cerita Sex Pembantu
Ada tidak banyak jeda pada pembicaraan itu, ketika dia masih mengurangi kehidupan seksualku. Aku pikir bukanlah
urusannya guna mencampuri urusan tersebut meskipun kadang aku membayangkannya juga.
Dia pandang bayinya, yang kesudahannya tertidur, dan memberinya suatu senyuman rahasia, kelihatannya mereka
berdua bakal berbagi suatu rahasia besar.
Masih memandangnya, namun dia berkata padaku, “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
“Apa!!!?”
“Aku serius.” Mirna menatapku.
“Kalau Ayah mengharapkan aku… Ayah ialah seorang pria yang tampan. Ayah memerlukan seks. Disamping
itu, aku bersedia, kan?”
Aku pikir dia sedang bercanda. Tapi perempuan yang menggoda ini tidak sedang main-main. Tapi tetap saja tak
mungkin aku melakukannya dengan istri dari anak kandungku sendiri.
“Terima kasih atas tawarannya, namun kupikir aku akan menampik tawaranmu.” suaraku terdengar sarat dengan
keraguan ketika mengucapkannya.
Mirna mencibirkan bibir bawahnya, aku tak dapat menduga apa yang sedang dirasakannya. Dia tetap terlihat
menawan, dan aku merasa Yoyok paling beruntung.Dia bicara dengan pelan.
“Dengar, Yoyok tak bakal tahu. Maksudku, aku tak bakal mengatakannya bila Ayah pun menjaga rahasia. Dan
bukan berarti aku menawarkan diriku pada setiap pria yang kutemui. Aku bukan perempuan seperti tersebut dan
aku dapat mengatur supaya sering berangjangsana kemari. Dan aku tahu Ayah memandangku lumayan menarik kan, sebab
aku sering menyaksikan Ayah memandangi pantatku.”
Aku tak barangkali menyangkalnya. Mirna barangkali tak terlampau tinggi, namun dia mempunyai bongkahan pantat yang
indah diatas kedua kakinya.
“Ya, anda memang mempunyai pantat yang indah. Tapi tersebut bukan berarti bila aku hendak berselingkuh dengan
menantuku sendiri.”
Dia berhenti sejenak, namun Mirna sepertinya tak bakal menyerah begitu saja.
“Yah, tapi tidak boleh lupa.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Dan itulah mula dari seluruh ini.
Seiring minggu yang berlalu, entah di sengaja atau tidak, dia seakan selalu berjuang untuk menggodaku,
membuat puting sususnya menyentuh dadaku ketika dia memberikan bayinya padaku guna ku gendong. Atau dia
masukkan jarinya di mulutnya ketika Yoyok tak melihat, dan menghisapnya dengan pandangan sarat kenikmatan
ke arahku. Suatu masa-masa dia duduk di lantai dengan kaki menyilang dan sedang bermain dengan bayinya, dia
memandangku tepat di mata, tersenyum, dan menyentuh pangkal paha di balik celana jeansnya. Aku tak akan
melupakan urusan itu.
Dan dia entah bagaimana tidak jarang kali menemukan teknik untuk berduaan denganku walaupun sesaat, dan dia memberiku
ciuman singkat yang sarat gairah, tepat di bibir. Itu seluruh dilakukannya berulang-ulang.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik di belakang Yoyok ketika suaminya tersebut sedang memasukkan
DVD pada player.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik saat menghampiri untuk menyodorkan minuman padaku.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia membisikkannya masing-masing kali dia berpamitan.
Dan sekarang, aku bukanlah tercipta dari batu, dan aku tak bakal bilang tingkah lakunya tersebut tidak
memberikan pengaruh terhadapku. Mirna paling manis dan mungil, dan meskipun setelah mencetuskan bayi
kesatunya tak menciptakan tubuhnya berubah seperti banyak sekali wanita. Dia tetap langsing, dan manis, dan
dia menawarkan dirinya guna kumiliki. Tapi aku tak bakal memulai tahapan kesatu untuk istirahat dengan
menantuku sendiri, tak perduli semudah apapun itu.
Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada diriku sendiri..
Beberapa minggu yang kemudian kami seluruh berkumpul di rumahku untuk menyaksikan pertandingan bola. Aku mengambil
beberapa kaleng minuman dan sedang sedang di dapur guna menyiapkan sejumlah makanan enteng saat Mirna
muncul dari balik pintu itu.
“Hai!” sapanya, membuka pintu dan masuk ke dapur.
“Ayah telah siap guna pertandingan nanti?”
“Hampir. Aku sedang menciptakan makanan guna keluarga kecil kita, dan aku punya sejumlah wortel untuk
cucuku. Aku pikir dia bakal suka dan warnanya sama dengan tim yang bakal bertanding nanti, kan?”
Mirna tertawa dan berkata. “Aku rasa dia tak bakal perduli. Disamping tersebut bukankah terdapat hal beda yang
lebih baik yang dapat Ayah lakukan untukku?”
“Jangan menggodaku. Aku seorang kakek dan aku akan kerjakan apa yang menurutku akan digemari oleh cucuku.”
aku memandangnya.
Mirna berdiri di sana menggunakan bandana merah kesukaannya diatas rambutnya yang sebahu.
Dia menggunakan kaos yang tidak banyak ketat yang bahkan tak hingga ke pinggangnya, dan pusarnya mengedip padaku
dibalik kaosnya. Kancing jeansnya membuatnya kelihatan laksana anak-anak diera bunga tahun 60an, dan dia
memakai sandal dengan unsur bawah yang tebal yang menjadikannya lebih tinggi sepuluh centi. Kuku
kakinya dicat merah senada dengan lipstiknya, dan tersebut menjadi tampak dengan sangat unik dibalik
denimnya.
Dia tidak jarang kali suka mengenakan perhiasan, dan dia memakainya pada leher, telinga, pergelangan tangan dan
bahkan di jari kakinya. Dia membuatku berandai-andai andai saja aku masih remaja, jadi aku bisa memacari
gadis sepertinya. Mungkin sebuah waktu nanti aku mesti pergi ke kampus dan menggali gadis-gadis.
Khayalanku terhenti ketika menyadari bila Yoyok dan bayinya tidak mengikutinya masuk.
“Mana anggota keluargamu yang lainnya?” aku bertanya hendak tahu.
“Mereka bakal segera datang. Yoyok pergi ke toko perkakas untuk melakukan pembelian peralatan mesin cuci yang rusak.
Dia hendak membawa serta anaknya. ‘Perjalanan ke toko perkakas yang kesatu bareng Ayah’ kurasa yang
dikatakannya padaku.” dia tersenyum.
“Apa Ayah mempersoalkan saat kesatu kalinya menyuruh Yoyok ke toko perkakas?”
“Aku tak ingat,” aku berbicara dengan garing.
Mirna menghampiri padaku, dan membubuhkan tangannya melingkari leherku.
“Ini peluang Ayah. Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Mirna memandangku tepat di mata dan mengusung tubuhnya dan menciumku lama dan liar. Aku ingin
mendorongnya, namun aku tak tahu dimana aku mesti membubuhkan tanganku. Aku enggan menyentuh pinggang
telanjang itu, dan andai aku membubuhkan tanganku di dadanya aku tentu akan menyentuh puting susunya. Saat
aku masih terkejut dan bingung, aku temukan diriku merasakan ciumannya. Ini telah terlalu lama, dan aku
merasa sudah lupa bakal rasa lapar yang mulai tumbuh dalam diriku.
Akhirnya aku menghentikan ciuman tersebut dan mundur dan mencungkil tangannya dari leherku.
“Kita tak dapat melakukannya.” aku mengupayakan menyampaikannya dengan lembut, namun aku takut tersebut kedengaran
seperti rajukan.
“Ya anda bisa.” Mirna kembali membubuhkan lengannya di leherku dan mendorong bibirku ke arahnya.
Ada gairah yang lebih lagi dalam ciuman kali ini, dan kesudahannya penerimaanku. Kali ini ketika kami
berhenti, terdapat sedikit kelemahan udara diantara kami berdua, dan aku semakin merasa tidak banyak bimbang.
Mirna memandangku dengan binar di matanya dan suatu senyuman di bibirnya.
“Ayah menginginkanku. Aku dapat merasakannya. Ayah tak menemukan wanita satu tahun belakangan ini, dan
Ayah tak memiliki tempat guna melampiaskannya. Dan aku mengharapkan Ayah. Jadi tunggu apa lagi…”Pada
sisi ini aku tak dapat berkomentar.
Aku menginginkannya. Tapi aku mustahil meniduri menantuku, bisakah aku? Tapi aku mengharapkan dia. Aku
merasa pertahananku melemah, dan ketika Mirna menciumku lagi, aku jadi tidak banyak terkejut ketika menyadari
diriku menjawab ciumannya dengan rakus.
“Mmmmm. Itu lebih baik,” katanya ketika kami berhenti untuk memungut nafas.
Mirna unik tangannya dari leherku dan mulai mencungkil kancing celanaku ketika menciumku pulang lalu
dia mundur. Jadi dia dapat melihat ketika dia mencungkil kancing jeansku, menurunkan resletingnya, dan
merogoh ke dalam untuk menerbitkan barangku. Aku terkejut ketika terlihat jadi tampak lebih banyak di
genggaman tangannya yang kecil. Setahun telah tak disentuh oleh perempuan , dan bereaksi dengan cepat,
menjadi keras dan cairan pre-cumnya terbit saat dia mengocoknya dengan lembut.
Mirna mundur dan duduk. Saat kepalanya turun, dia menanam bibirnya di pangkal penisku yang basah.
“Aku rasa aku menyenangi bentuknya,” bisiknya seraya menatap mataku.
Lalu lantas dia membuka mulutnya dan dengan perlahan memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ke dalam
dan lebih dalam lagi penisku masuk dalam mulutnya yang lembut, hangat dan basah, dan aku merasa berada
di dalam vagina yang basah dan kenyal ketika lidahnya menari di penisku. Akhirnya aku merasa sudah berada
sedalam yang ku mampu, bibirnya menyentuh rambut kemaluanku dan kepala penisku berada entah di mana jauh
di tenggorokannya. Penisku tanpa terasa mengejang, dan pinggangku bergerak bertentangan arah dengannya,
dan bersiap guna menyetubuhi wajahnya.
Tapi Mirna perlahan menjauhkan mulutnya dariku, memunculkan suara laksana sedang mengemut permen. Saat
dia bangkit guna menciumku lagi, aku menunjukkan tanganku diantara pahanya. Aku gosok jeansnya dan dia
menggeliat karenanya.
“Mmmm, tersebut pasti nikmat,” katanya.
“Tapi biar aku membuatnya jadi lebih mudah.”
Mirna mencungkil kancing celananya dan menurunkan resletingnya, menunjukkan celana dalam katunnya
yang bergambar beruang kecil. Diturunkannya celananya dan melepaskannya dari tubuhnya. Kami menyaksikan ke
bawah pada lokasi gelap dibawah sana dimana kewanitaannya bersembunyi, dan lantas aku sentuh perutnya
yang kencang dan terus menurunkan celana dalamnya.
Mirna merintih dalam kesenangan saat tanganku menjangkau sasarannya dibalik celana dalamnya. Vaginanya
serasa selembut pantat bayi, dan aku sadar bila dia tentu telah mencukurnya sebelum kemari. Terasa
basah dan licin oleh cairan kewanitaannya dan membuatku kagum karena tersebut tak memunculkan bekas basah di
luar jeansnya. Saat tanganku menyelinap dibalik bibir vaginanya dan menyentuh klitorisnya yang mengeras,
dia memejamkan matanya dan menekan bertentangan arah dengan jariku.
Mirna membubuhkan salah satu tangannya di leherku dan mendorong kami untuk suatu ciuman intensif berikutnya
sedangkan tangannya yang beda mengocok penisku dan tanganku terus bergerak dalam lubang basahnya. Saat
kami berhenti guna bernafas, Mirna mundur dan menuliskan sesuatu yang mengejutkan,
“Yoyok datang.” Aku segera melepasnya dan mengarah ke jendela. Ya, mobil Yoyok tampak di jalan sedang
menuju kemari.
Mirna tentu melihatnya dari balik bahuku ketika kami saling mencumbui leher. Tiba-tiba perasaan bersalah
datang menerkam karena nyaris saja ketahuan. Aku tak percaya apa yang nyaris saja kami lakukan. Dengan
tergesa-gesa aku kenakan pulang celanaku, namun Mirna menghentikanku dan menciduk tanganku dan
melanjutkan kocokannya.
“Hei, tidak boleh. Tak semudah tersebut Ayah boleh mengakhirinya. Aku telah menantikan terlalu lama guna ini.”
“Tapi Yoyok nyaris datang! Dia akan menyaksikan kita!”
Mirna menerbitkan penisku dan berlangsung ke arah meja dapur.
“Ini perjanjiannya,” katanya.
“Aku tak bakal mengadu pada Yoyok mengenai apa yang baru saja anda lakukan bila Ayah bisa dapat
mengeluarkan semua sperma Ayah dalam vaginaku sebelum dia hingga kemari.” Sambil berbicara begitu, dia
menurunkan celananya sampai lutut dan menunduk di meja itu.“Dia segera datang!” nyaris saja aku
teriak.“Tidak.”
Mirna membentangkan kakinya sejauh celananya memungkinkan untuk tersebut dan dia memandangku lewat bahunya.
“Dia mesti menggendong bayi dan menerbitkan semua barangnya. Biasanya dia memerlukan sejumlah menit.
Sekarang kemarilah dan setubuhi aku.”
Mirna sudah telanjang dari pinggang sampai kaki, dan dia memohon padaku supaya segera memasukkan diriku
dalam tubuhnya. Aku menatap dua lubang yang mengundang itu. Pantatnya begitu kencang dan aku tak terusik
saat menyaksikan lubang anusnya yang berkerut kemerahan, dan di bawahnya, bibir vaginanya yang merah,
terlihat mengkilap basah. Kakinya tak sejenjang model, namun lebih kecil dan terasa pas, dan aku
membayangkan bercinta dengannya sejumlah jam.
Tangannya bergerak kebelakang diantara pahanya dan menanam tangannya pada vaginanya. Dengan dua
jarinya dilebarkannya bibir vaginanya sampai terbuka, dan aku dapat menyaksikan lubang merah mudanya
mengundang penisku supaya segera masuk.
“Ayo,” katanya.
“Ambil aku.”
Aku tak tahu apa dia sedang berkelakar saat mengatakannya. Yoyok atau bukan, rangsangan ini lebih dari
cukup guna mereguk birahinya. Aku melangkah ke belakang menantuku dan menanam penisku di
kewanitaannya. Saat aku mendorong penisku melalui lubang surganya yang sempit, aku dapat menikmati jari
Mirna menyangga bibir madunya supaya tetap terbuka, dan dia melenguh ketika aku memegang pinggangnya dan
memasukkan diriku padanya.
Mirna telah paling basah sampai aku dengan mudah melalui vagina mudanya yang sempit. Aku mulai
mengayunkan barangku di dalamnya, beberapa didorong oleh nafsu bakal tubuh menggairahkannya dan sebagian
oleh rasa takut andai Yoyok memergoki kami. Mirna mengerang, dan aku dapat menikmati jarinya menggosok
kelentit dan bibir vaginanya sendiri. Nafasnya mulai tersengal, dan setelah sejumlah goyangan dariku,
dia segera orgasme. Suara rengekan pelan terbit dari bibirnya ketika dia memegang erat pinggiran meja
dengan kuat, dan letupan orgasmenya menggoncang kami berdua ketika aku menghentaknya.
Itu lumayan untuk menghantarku. Aku tak bersangkutan dengan perempuan dalam satu tahun ini, dan aku belum pernah
mendapatkan yang sepanas Mirna. Aku menyangga nafas dan mendorong semua kelaki-lakianku ke dalam
dirinya. Kami mematung, dan lantas spermaku memancar dengan hebat jauh di dalam surganya. Serasa aku
telah mengguyurnya dengan sperma yang panas dan berlebih. Dia merintih dalam nikmat, menggetarkan
pantatnya di seputar penisku ketika aku mengosongkan persediaan benihku. Dia melemah seiring dengan
habisnya spermaku, dan kami kesudahannya berhenti bergerak, kecuali untuk memungut nafas.
Takut Yoyok bakal datang sebelum kami sempat mencungkil diri, aku keluarkan diriku dari tubuhnya dengan
bunyi plop yang basah, kemudian mundur menjauh dan mengenakan celanaku. Mirna masih tetap berbaring
tertelungkup di atas meja menikmati kehangatan gabungan cairan birahi kami, pantat telanjangnya masih
tetap memanggilku. Aku lihat spermaku dan cairannya mulai meleleh terbit dari bibir surganya.
Aku palingkan muka dan menyaksikan Yoyok nyaris sampai di pintu belakang, bayi di tangan yang satu dan
belanjaan di tangan lainnya.
Aku berbalik dan memohon pada Mirna.
” Ayolah!” kataku.
“Kamu sudah dapatkan keinginanmu. Dia nyaris sampai kemari.”
Mirna bangkit, tatapan matanya masih kelihatan linglung. Dia bergerak ke depanku, menjadikanku sebagai
penghalang dari pandangan suaminya ketika dia dengan tergesa-gesa menggunakan celananya.
“Apa kalian telah siap guna pertandingannya?” tanya Yoyok seraya membuka pintu.
“Ya,” aku membalas dari balik punggungku ketika aku diam untuk merintangi Mirna yang menaikkan
resletingnya.
Setelah dia selesai, aku segera berbalik guna menyambut Yoyok.
“Ini,” katanya, menyodorkan bayinya padaku dan menempatkan belanjaannya diatas meja dapur.
“Urus ini, aku akan memungut popok bayi.” Yoyok melangkah ke pintu yang masih terbuka, dan aku
menghampiri Mirna. Dia masih terlihat tidak banyak linglung.
“Hampir saja,” kataku.
“Sini, biar aku yang menggendongnya.”Aku berikan bayinya.
Mirna memberiku pemandangan seraut wajah dari seorang perempuan yang puas sehabis bersetubuh, dan memberiku
ciuman hangat yang basah.
“Masih terdapat satu urusan lagi yang mesti kuketahui,”katanya.
“Apa itu?”Kalau aku ingin, bisakah aku mendapatkannya besok?” Dan dia melenggang begitu saja tanpa menantikan jawabanku yang melulu melongo bengong. Dia yakin bila akan bersedia.
No comments:
Post a Comment