Kalau dikomparasikan dengan atlet binaraga, aku tak kalah indahnya. Aku melulu tersenyum sambil lantas menaruh kedua barbelku dan menyeka keringat di dahi. Kuperhatikan jam sudah menunjukan pukul 22:39 tepat.
Ya, memang pada jam-jam laksana ini aku biasa olahraga berat untuk menyusun otot-otot di tubuhku. Suasana sepi dan udara sejuk paling aku sukai. Kamar kost-ku di pinggiran unsur utara kota Jogja memang menawarkan hawa dinginnya. Itulah sebabnya aku sangat kerasan kost di sini semenjak resmi jadi mahasiswa hingga nyaris ujian akhirku yang menginjak semester delapan ini.
Sudah jadi kebiasaanku, aku tidak jarang kali berolahraga dengan telanjang bulat, sampai-sampai dapat kuperhatikan tubuhku sendiri lewat cermin tersebut yang makin hari makin tumbuh kekar dan indah. berkulit sawo matang gelap. Rambut kasar memenuhi nyaris di semua kedua lengan tangan dan kaki serta dadaku yang membidang ke bawah, lebih-lebih pada wilayah kemaluanku.
Rambutnya tumbuh subur dengan batang zakarnya yang tidak jarang kali terhangati olehnya. Kuraba-raba batang kemaluanku yang mulai beranjak tegang ereksi ini. Hmm, ouh, menyenangkan sekali. Air keringatku turut mengairi batang zakar dan buah pelirku.
Dengan seraya duduk di kursi plastik aku berfantasi sekiranya ini dilaksanakan oleh seorang wanita. Mengelus-elus zakarku yang pernah kuukur mempunyai panjang 16 centimeter dengan garis lingkar yang 5 centimeter! Mataku melulu merem melek saja merasakan sensasi yang estetis ini.
Perlahan-lahan aku mulai melumuri batang zakarku dengan air liurku sendiri. Kini seraya menggenggam batang zakar, aku terus menerus mengerjakan mengocok-ngocok secara lembut yang berangsur-angsur ke tempo cepat.
“Mas, Mas Andi? Ini aku, Netty!”
Netty? Adik sepupuku dari Pekalongan? Ngapain malam-malam begini ini datang ke Jogja? Gila! Buru-buru aku melilitkan kain handuk kecilku sambil mengejar ke arah pintu guna membukakannya. “Netty?” ucapku seraya menggeser posisiku berdiri guna memberi jalan masuk bikin adik sepupuku yang familiar tomboy ini.
Netty terus saja masuk ke dalam seraya melempar tas ranselnya dan lari ke kamar mandi yang memang terdapat di masing-masing kamar kost ini. Sejenak aku melongok keluar, sepi, melulu gelap di halaman samping yang menawarkan kesunyian. Pintu pulang kututup dan kukunci. Aku melulu menghela nafasku dalam-dalam sambil menyimak tas ransel Netty.
Tak berapa lama Netty terbit dengan wajah basah dan kusut. Rambutnya yang lebat sebahu acak-acakan. Aku agak terkejut ketika menyadari bahwa sekarang Netty melulu memakai kaos oblong khas Jogja. Rupanya ia sudah melepas celana jeans biru ketatnya di kamar mandi.
Kulit pahanya yang kuning langsat dan ketat tersebut terlihat jelas. “Ada masalah apa lagi, hmm? Dapat nilai jelek lagi di sekolahan kemudian dimarahi Bapak Ibumu?” tanyaku sambil menghampiri dan membelai rambutnya, Netty melulu terdiam saja. Anak SMU ruang belajar dua ini memang bandel. Mungkin sifat tomboynya yang menciptakan dirinya begitu.
Tak mudah ditata dan maunya sendiri saja. Jadinya, aku ini yang tidak jarang kewalahan andai ia datang seketika minta perlindunganku. Aku memang punya pengaruh di lingkungan keluarganya.
Netty melulu berdiri termangu di depan cermin olah ragaku. Walau wajahnya merunduk, aku dapat menyaksikan bahwa dia sedang memandangi tubuhku yang separuh telanjang ini.
“Lama ya Mas, Netty nggak ke sini.”
“Hampir lima tahun,” jawabku lebih menghampiri lagi kemudian kusadari bahwa lengan dan tangannya luka lecet kecil.
“Berantem lagi, ya? Gila!” seruku kaget menyadari memar-memar di leher, wajah, kaki, dan entah dimana lagi.
“Netty kalah, Mas. Dikeroyok sepuluh cowok jalanan. Sakit semua, ouih. Mas, tidak boleh bilang sama Bapak Ibu ya, bila Netty kesini. Aduh..!” teriak terbendung Netty mengaduh pada dadanya.
“Apa yang anda rasakan Ir? Dimana sakitnya, dimana?” tanyaku menyangga tubuhnya yang inginkan roboh.
Tapi dengan powerful Netty bisa berdiri pulang secara gontai seraya memegangi lenganku.
“Seluruh tubuhku rasanya sakit dan pegal semua, Mas, ouh!”
“Biar Mas lihat, ya? Nggak apa-apa khan? Nggak malu, to?” desakku yang terus cerah aku telah mulai tergoda dengan postur tubuh Netty yang bongsor ketat. Netty melulu mengangguk kalem.
“Ah, Mas Andi. Netty justeru pengin laksana dulu lagi, anda mandi bareng.. Netty kangen sama pijitan Mas Andi!” ujar Netty tersenyum malu.
Edan! Aku kian menikmati batang kemaluanku mengeras ketat. Dan tersebut jelas sekali tampak pada format handuk kecil yang menutupinya, terdapat semacam benda keras yang berkeinginan menyodok keluar. Dan Netty bisa pula melihatnya! Perlahan kulepas kaos oblong Netty.
Sebentar dirinya laksana malu-malu, tapi lantas membiarkan tanganku lantas melepas BH ukuran 36B serta CD krem berenda ketatnya. Aku terkejut dan sekaligus terangsang hebat. Di tubuh mulusnya yang estetis itu, tidak sedikit memar menghiasinya. Aku berlangsung memutari tubuh telanjangnya.
Dengan gemetaran, jemariku menggerayangi wajahnya, bibirnya, kemudian leher dan terus ke bawahnya. Cukup lama aku meraba-raba dan membelai serta meremas lembut buah dadanya yang ranum ini. “Mas Andi.. enak sekali Mas, teruskan yaa.. ouh, ouh..!” pinta mulut Netty seraya merem-melek. Mulutku sekarang maju ke dada Netty. Perlahan kuhisap dan kukulum nikmat puting susunya yang coklat kehitaman tersebut secara bergantian kiri dan kanannya.
Sementara kedua jemari tanganku tetap meremas-remas kalem dan bertambah keras. Mulut Netty kian merintih-rintih memintaku untuk melakukan lebih nekat dan berani. Netty menantangku, sedotan pada puting susunya kian kukeraskan seraya kuselingi dengan memilin-milin puting-puting susu itu secara gemas.
“Auuh, aduh Mas Andi, lebih keras.. lebih kencang, ouh!” menggelinjang tubuh Netty seraya berpegangan pada kedua pundakku. Puting Netty memang kenyal dan mengasyikan. Kurasakan bahwa kedua puting susu Netty sudah mengeras total. Aku merendahkan tubuhku ke bawah, mulutku menyusuri kulit tubuh bugil Netty, menyapu perutnya dan terus ke bawah lagi.
Rambut kemaluan Netty rupanya dipotong habis, sampai-sampai yang terlihat kini ialah gundukan daging lembut yang terpecah celah sempitnya yang rapat. Karuan lagi saja, mulutku langsung menerkam bibir kemaluan Netty dengan sarat nafsu. Aku terus mendesakkan mulutku ke dalam liang kemaluannya yang sempit seraya menjulurkan lidahku guna menjilati klitorisnya di dalam sana. Netty benar-benar paling menggairahkan.
Dalam masalah seks, aku memang memliki jadwal teratur dengan pacarku yang dokter gigi itu. Dan bila dibandingkan, Netty lebih unggul dari Sinta, pacarku. Mulutku tidak melulu melumat-lumat bibir kemaluan Netty, tapi pun menyedot-nyedotnya dengan ganas, menggigit kecil serta menjilat-jilat.
Tanpa kusadari kain handukku terlepas sendiri. Aku sudah menikmati batang kemaluanku yang mohon untuk menerjang liang kemaluan lawan. Karuan lagi, aku cepat berdiri dan meminta Netty guna jongkok di depanku.
Gadis tersebut menurut keterangan dari saja. “Buka mulutmu, Dik. Buka!” pintaku sambil menuntun batang kemaluanku ke dalam mulut Netty. Gadis tersebut semula menampik keras, namun aku terus memaksanya bahwa ini tidak berbahaya. Akhirnya Netty menurut keterangan dari saja. Netty mulai menyedot-nyedot keras batang kemaluanku sembari meremas-remas buah zakarku.
Ahk, sungguh estetis dan menggairahkan. Perbuatan Netty ini rupanya lebih liar dari Sinta. Jemari Netty kadangkala menyelingi dengan mengocok-ngocok batang kemaluanku, kemudian menelannya dan melumat-lumat dengan girang.
“Teruskan Dik, teruskan, yeeahh, ouh.. ouh.. auh!” teriakku kegelian. Keringat pulang berceceran deras. Aku turut serta menusuk-nusukan batang kemaluanku ke dalam mulut Netty, sampai-sampai gadis cantik ini jadi tersendak-sendak. Tapi malah aku makin senang. Kini aku mustahil menahan tekanan titik puncak orgasmeku. Dengan cepat aku muntahkan spermaku di dalam mulut Netty yang masih mengulum ujung batang kemlauanku.
“Croot.. creet.. crret..!”
“Ditelan Dik, mari ditelan habis, dan bersihkan lepotannya!” pintaku yang dituruti saja oleh Netty yang semula berkeinginan memuntahkannya. Aku tidak banyak dapat bernafas lega. Netty sudah menjilati dan mencuci lepotan air maniku di sekujur ujung zakar.
“Maass, ouh, rasanya aneh..!” ujar Netty seraya kuminta berdiri. Sesaat lamanya kami saling pandang. Kami kemudian melulu saling berdekapan dengan hangat dan mesra. Kurasakan tekanan buah dadanya yang kencang tersebut menggelitik birahiku kembali.
“Ayo Dik, menungging di depan cermin itu!” pintaku sambil menunjukkan tubuh Netty guna menungging. Netty manut. Dengan cepat aku terus menenggelamkan batang kemaluanku ke liang kemaluan Netty lewat belakang dan mengerjakan gerakan maju mundur dengan kencang sekali.
“Aduuh, auuh.. ouh.. ouh.. aah.. ouh, sakit, sakit Mas!” teriak-teriak mulut Netty merem-melek. Tapi aku tak peduli, adik sepupuku tersebut terus saja kuperkosa dengan hebat. Sambil berpegangan pada kedua pinggulnya, aku menari-narikan batang kemaluanku pada liang kemaluan Netty.
“Sakiit.. ouhh..!”
“Blesep.. slep.. sleep..” suara tusukan persetubuhan tersebut begitu indah.
Netty terus saja menggelinjang hebat.
Aku segera menarik keluar batang kemaluanku, mengembalikan posisi tubuh Netty yang sekarang telentang dengan kedua kakinya kuminta guna melipat sejajar badannya. sedangkan kedua tangannya memegangi lipatan kedua kakinya. Kini aku bekerja lagi guna menyetubuhi Netty.
“Ouuh.. aahhk.. ouh.. ouh..!”
Dengan menopang tubuhku berpegangan pada buah dadanya, aku terus kian buas tanpa ampun lagi menikam-nikam kemaluan Netty dengan batang kemaluanku.
“Crroot.. cret.. creet..!”
Menyemprot air mani zakarku di dalam liang kemaluan Netty. “Maas.. ouuh.. aduh.. aahk!” teriak Netty yang langsung agak lunglai lemas, sedangkan aku berbaring menindih tubuh bugilnya dengan batang kemaluanku yang masih tetap menancap di dalam kemaluanya.
“Dik Netty, bagaimana bila adik pindah sekolah di Jogja saja. Kita kontrak satu rumah.. hmm?” tanyaku seraya menciumi mulut tebal sensual Netty yang pun membalasku. “Netty sudi-sudi saja, Mas. Ouh..”
No comments:
Post a Comment