Jam lima pagi, aku terjaga lagi. Kali ini terasa agak dingin dihembus kipas angin dari atas. Kuambil selimut sambil menyaksikan Tante yang masih berposisi telanjang bongkok udang. Hal ini menarikku guna memeluknya dari belakang. Kutebarkan selimut lebar itu sampai menutupi tubuh kami berdua. Tangan kiri kusisipkan di bawah badannya dan tangan kananku kupelukkan melingkupi dadanya. Pinggulku kulekatkan ke arah pantatnya, sampai-sampai otomatis zakarku menempel di situ pula, di sela-sela paha belakangnya.
Dasar darah mudaku masih panas, sejenak lantas burung kecilku telah jadi ‘garuda’ perkasa yang siap tempur lagi. Kugerak-gerakkan menusuki sela-sela paha belakang Tante. Tanganku juga tidak bermukim diam dan mulai memelintir puting Tante kiri-kanan sambil meremas-remas gumpalan kenyal itu. Kontan mendapat perlakuan seperti tersebut Tanteku terbangun dan bereaksi.
“Sudah, Ron..! Jangan lagi..!” tubuh Tante beringsut menjauhiku, tetapi aku tetap memeluknya erat.
Bahkan dengkulku kini berupaya membuka pahanya dari belakang. Tante beringsut menjauh lagi dan kedua tangannya berjuang melepas pelukanku.
“Tapi, tadi kita telah melakukannya, Tante?” tanyaku tidak mengerti. Pelukanku tetap.
“Ya. Ta.. tadi Tante.. khilaf..”
“Khilaf..? Tapi kita telah melakukannya hingga dua kali Tante?” aku tidak berakhir mengerti.
Kulekatkan lagi zakarku ke pantatnya. Tante menghindar.
“Ii.. ya, Ron. Tante tadi benar-benar tak mampu.. menyangga nafsu.. Tante telah lama tidak mengerjakan ini semenjak Oom-mu meninggal. Dan sekarang anda merangsang Tante hingga Tante terlena.”
“Masak terlena hingga dua kali?”
“Yang kesatu memang. Tante baru terbangun setelah.., Roni mem.. menginjak Tante. Tante inginkan melawan namun tenagamu powerful sekali hingga akhirnya Tante diam dan justeru jadi terlena.”
“Kalau yang kedua, Tante..?” tanyaku hendak tahu sambil memeluk lebih erat. Tante mengelak dan menepisku lagi.
“Kamu menghirup bibir Tante. Di situ lah kekurangan Tante, Ron. Tante tidak jarang kali terangsang bila berciuman..”
“Oh, bila begitu Tante kucium saja kini ya..? Biar Tante bernafsu lagi.” pintaku bernafsu seraya berupaya memalingkan wajah Tante. Tapi Tante menampik keras.
“Jangan, Ron..! Sudah cukup. Kita tidak boleh berzinah lagi. Tante merasa berdosa pada Oom-mu. Hik.. hik.. hik..” Tante terisak.
Aku jadi mengendurkan serangan, walau tetap memeluknya dari belakang.
Kemudian kami terdiam. Dalam dekapanku terasa Tante sedang menangis. Tubuhnya berguncang kecil.
“Ya sudah, Tante. Sekarang kita istirahat saja. Tapi bolehkan Roni mendekap Tante laksana ini..?”
Tidak kuduga Tante malah berbalik menghadapku sambil memperbaiki selimut kami dan berkata, “Tapi anda harus janji tak bakal menyetubuhi Tante lagi kan, Ron?”
“Iya, Tante. Aku janji.., anggap saja Tante kini sedang mendekap anak Tante sendiri.”
Sekilas kulihat bibir Tante tersenyum. Di bawah selimut, aku pulang memeluknya dan kurasakan tangan Tante pun memelukku. Buah dada besarnya mengurangi dadaku, namun aku mengupayakan mematikan nafsuku. Zakarku, walau menyentuh pahanya, pun kutahan agar tidak tegang lagi. Wajah kami berhadap-hadapan hingga napas Tante terasa menerpa hidungku. Matanya terpejam, aku pun mengupayakan tidur.
Mungkin saking lelahnya, dengan cepat Tante terlelap lagi. Namun beda halnya dengan aku. Terus terang, walau sudah berjanji, mana dapat aku mengekang terus nafsu birahiku, khususnya si ‘garuda’ kecilku yang telah mulai mengepakkan sayapnya lagi. Dengan tempelan buah dada sebesar tersebut di dada dan pelukan hangat tubuh polos menggairahkan begini, mana dapat aku istirahat tenang? Mana dapat aku menyangga syahwat? Jujur saja, aku telah benar-benar hendak segera menelentangkan Tante, menusuk dan memompanya lagi!
KLIK DI SINI UNTUK MENONTON / MENDOWNLOAD VIDEONYA
Tapi aku telah janji tidak bakal menyetubuhinya lagi. Mestikah janji ini kuingkari? Apa akal? Bisakah tidak mengingkari janji namun tetap bisa menyebadani Tante? Benakku segera berputar, dan segera ingat ucapan-ucapan Tante tadi bahwa dia paling gampang terangsang bila dicium. Mengapa aku tidak menciumnya saja? Bukankah menghirup tidak sama dengan menyetubuhi?
Ya, pelan tapi tentu kusisipkan kaki kiri di bawah kaki kanan Tante, sedang kaki kananku kumasukkan salah satu kakinya sampai-sampai keempat kaki kami saling bertumpang tindih. Aku tidak perduli zakarku yang telah jadi tonggak keras melekat di pahanya. Kurapatkan pelukan dan dekapanku ke tubuh Tante, wajahku kudekatkan ke wajahnya dan perlahan bibirku kutautkan dengan bibirnya.
Lidahku pulang berupaya menginjak rongga mulutnya yang agak menganga. Aku terus bertahan dengan posisi erotis ini seraya agak mengurangi bagian belakang kepala Tante agar pertautan bibir kami tidak lepas. Dan usahaku ternyata tidak sia-sia. Setelah selama 30 menit kemudian, tubuhku mulai pegal-pegal, kurasakan gerakan lidah Tante. Serta merta gerakannya kubalas dengan jilatan lidah juga.
“Emm.. emm.. mm..” desis Tante seraya membelit lidahku.
Kepalanya kutekan kian kuat dan aku berjuang menyedot lidahnya sampai masuk ke mulutku. Kukulum lidahnya dan kupermainkan dengan lidahku. Kusedot, kusedot dan kusedot terus hingga Tante agak kesakitan, kemudian kubelit-belit lagi dengan lidahku. Ya, silat lidah ini dilangsungkan cukup lama dan saat tanpa sengaja pahaku menyenggol vagina tante, terasa agak basah. Pasti Tante terangsang, pikirku. Tapi aku tidak inginkan memulai, fobia melanggar janji. Biar Tante saja yang aktif.
Maka aku pun berjuang menambah daya rangsang pada diri Tante. Pelan tangan kirinya kubimbing guna menggenggam zakarku. Meski terdahulu enggan, namun lama kelamaan digenggamnya pun ‘garuda perkasa’-ku. Bahkan dipijit-pijit sampai-sampai aku juga menggelinjang keenakan.
KLIK DI SINI UNTUK MENONTON / MENDOWNLOAD VIDEONYA
“Shh.. shh..!” desisku seraya mengulum lidahnya.
Tangan kananku, setelah menuntun tangan kiri Tante menggenggam zakarku kemudian meneruskan perjalanannya ke celah paha Tante yang telah basah. Kusibakkan rambut-rambut tebal itu, menggali celah-celah kemudian menyisipkan jari telunjuk dan tengahku di situ. Kugerakkan ke keluar-masuk dan Tante mendesis-desis, genggamannya di zakarku terasa mengeras. Aku tidak tahan lagi.
“Masukin ya, Tante?” bisikku, tak sempat pada janjiku.
“Ja.. jangan, Ron..!”
“Ak.. aku nggak tahan lagi, Tante..!” pintaku.
“Di.. diapit paha saja ya, Ron..?”
Tanpa kusuruh, Tante kemudian telentang dan mengangkangkan pahanya. Pelan aku menaikinya. Tante menuntun zakarku salah satu pahanya selama sejengkal di bawah vagina, kemudian menjepitnya. Ia menggerak-gerakkan pahanya sampai-sampai zakarku terpelintir-pelintir nikmat sekali.
Payudara besar Tante mengurangi dadaku juga. Tangan kiriku mengutil-ngutil puting kanannya. Ciuman ke bibirnya kulanjutkan lagi, jemari tangan kananku pun terus berupaya menginjak vagina Tante dan mengocoknya.
“Heshh.. heshh.. Ron.. mm..,” Tante susah bicara sebab mulutnya masih kukulum.
“Tanganmu.. Ron..!” tangan kanan Tante berjuang menghentikan pekerjaan tangan kiriku di putingnya, sedang tangan kanannya berjuang menghentikan pekerjaan jemari kananku di vaginanya.
Dipegangnya jemariku. Aku hentikan gerakan, namun tiga jari tetap terendam di vagina basah tersebut dan kukutil-kutil kecil. Sampai Tante tidak tahan dan mengangkangkan tidak banyak pahanya sampai jepitan pada zakarku terlepas. Cepat kutarik jemariku dari situ dan kunaikkan tidak banyak tubuhku sampai-sampai sekarang ganti zakarku sedang di pintu gerbang nikmat itu. Kepalanya justeru sudah menyeruak masuk.
“Hshh.. Ron, tidak boleh dimasukkan..!” Tante buru-buru memegang zakarku, digenggamnya.
“Tapi aku telah nggak tahan Tante..” desisku.
“Cukup kepalanya saja, Ron.. dan tidak boleh dikocok..!” Tante memperketat genggamannya, sedangkan aku semakin memperderas desakan ke vaginanya.
“Ii.. ingat janjimu, Ron..!”
“Ta.. namun Tante juga hendak kan?” tanyaku polos.
“Ii.. iya sih, Ron. Tante pun sudah nggak tahan. Tapi ini zinah namanya.”
“Apa bila tidak dimasukkan bukan zinah, Tante?” tanyaku bloon.
“Bu.. bukan, Ron. Asal burungmu tidak masuk ke vagina Tante, bukan zinah..” aku jadi bingung.
Terus cerah tidak mengerti pengertian zinah menurut keterangan dari Tante ini.
“Kalau begitu, apa Tante punya jalan keluar? Kita telah sama-sama terangsang berat. Tapi anda nggak inginkan berzinah.”
“Egh.. gini aja Ron. Tante akan.. ugh.. mengulum punyamu. Turunlah sebentar..!”
KLIK DI SINI UNTUK MENONTON / MENDOWNLOAD VIDEONYA
Dan aku juga menurut, turun dari atas Tante dan telentang. Tante bangkit kemudian memutar badannya dan mengangkangiku. Mulutnya terdapat di atas zakarku dan vaginanya di atas wajahku. Kurasakan ia mulai menggenggam dan mengulum ‘garuda perkasa’-ku. Dikulum dan digerakkan naik turun di mulutnya.
Shiit.. hsshh.. nikmat sekali. Jemariku segera menciduk pinggulnya yang bergerak maju mundur dan segera kuselipkan empat jari kanan ke vaginanya. Kugerakkan cepat, justeru agak kasar, terbit masuk hingga basah semua.
“Ugh.. uughh.. uagh.. Ron..! Ron, Tante inginkan keluar, mm.. mm..” Tante terus mengulum seraya meracau.
Sekejap lantas tubuhnya berhenti bergerak, kemudian pinggul yang kupegangi terasa berkejat-kejat. Kemudian cairan hangat memenuhi tanganku dan beberapa menetesi dadaku. Kurasakan cairan tersebut seperti air maniku melulu lebih encer dan bening.
Tante lantas terkapar keletihan di atasku dengan posisi mulutnya tetap mengulum zakarku seraya mengocoknya. Tidak berapa lama, aku juga merasa inginkan keluar.
“Egh.. egh.. Tante. Aku inginkan keluar..!” Tante justeru mempercepat kocokannya dan memperdalam kulumannya.
Aku berkejat dan muncrat menginjak mulut Tante dan ditelannya, semuanya berakhir ditampung mulut Tante. Akhirnya aku juga lemas dan ikut menggelepar kelelahan.
Tangan-kakiku terkapar lemas ke kiri-kanan. Tante pun terkapar keletihan namun mulutnya masih terus menjilati zakarku hingga bersih, barulah lantas dia berbalik dan memelukku. Wajah kami berhadapan, mata Tante merem-melek.
“Kalau yang barusan ini bukan zinah tante?” tanyaku lagi.
“Bukan, Ron.. karena anda tidak memasukkan burungmu ke vagina Tante.” jawabnya seraya mata memejam.
Aku tidak tahu apakah jawabnya tersebut benar atau salah. Namun, sesudah kupikir-pikir, aku kemudian bertanya lagi, “Jadi bila begitu, boleh dong kita mengerjakan lagi laksana yang barusan ini, Tante?”
“He-eh..” jawabnya seraya terkantuk-kantuk lantas dengkur kecilnya mulai tersiar lagi
Jam enam pagi masa-masa itu. Aku juga segera menebarkan selimut lagi di atas tubuh polos kami dan memeluknya dengan ketat. Rasanya aku tidak mau mencungkil tubuh Tante meski sekejap pun. Persetan dengan pekerjaan, persetan dengan kuliah. Sengaja aku pun tidak mengingatkan Tante akan kegiatan kami. Aku malah bercita-cita menginap lagi semalam, biar ada peluang bersebadan dengan Tante lebih lama lagi. Sepanjang hari ini aku inginkan bercumbu terus dengan Tante, hingga spermaku terbit sepuluh kali lagi! Begitu impian jorokku.
KLIK DI SINI UNTUK MENONTON / MENDOWNLOAD VIDEONYA
Ya, kesudahannya memang kami hari tersebut tidak terbit kamar dan memperpanjang menginap sehari lagi. Selama di dalam kamar, di atas ranjang, kami tidak pernah mengenakan pakaian barang selembar pun. Hampir masing-masing tiga jam sekali aku dan Tante sama-sama merasakan orgasme, meskipun melulu pakai pertolongan tangan atau mulut dan lidah.
Jam delapan pagi, sebelas, dua siang, lima sore, delapan malam, sebelas malam, dua pagi, lima pagi dan delapan paginya lagi kami tidak jarang kali terkejat-kejat dan orgasme nyaris bersamaan. Selama tersebut memang Tante masih tidak jarang kali ingat guna menolakku yang hendak memasukkan penisku ke vaginanya, dan aku juga menurutinya.
Namun, kesudahannya Tante terlena dan aku juga bebas memasukkan penisku ke vaginanya. Tentunya sesudah kami kembali dari perjalanan bisnis berkesan itu, dan kembali kembali ke rumah. Kesempatan tersebut terbuka lebar sebab memang aku suka bermukim di rumahnya.
No comments:
Post a Comment